13E!!! senyumku langsung merekah melihat angka itu. 13 E adalah nomor seatku di Kereta Api Penataran jurusan Malang-Surabaya yang aku tumpangi.
“nang kene ta mbak?” aku mengganggukkan kepala menjawab pertanyaannya sambil tos dengannya. Dia anak laki2 yang tiba lebih dulu di bangku sebelahku. Perjalananku kali ini bersama anak-anak dari salah satu sanggar di Surabaya yang usai tampil di Malang.
Beberapa anak sudah kelihatan capek maklum mereka sejak Jumat berada di Malang. Dan kegiatan-kegiatan juga sudah mereka lakukan sehingga di akhir acara yaitu perjalanan pulang ini mereka nampak letih. Maka dari itu mereka sudah tak banyak beranjak dari bangkunya tidak seperti perjalanan waktu berangkat ke Malang yang sangat aktif ada yang becanda,main alat music, bernyanyi dan masih banyak lagi. Bisa jadi karena perjalanan pulang ini penumpang kereta lumayan padat sehingga membatasi gerak mereka.
Di tengah-tenngah suara kereta yang sedang melaju kami mulai membuka nasi yang memang dari awal tiap anak di bekali 1 kotak nasi untuk dapat di makan saat di kereta. Ada beberapa anak yang masih kenyang karena sebelum berangkat sudah makan,sehingga mereka menunda makan saat itu,ada pula yang langsung melahap makanan tersebut.
“Laper??” aku membuka obrolan dengan anak di sebelahku
“iya mbak” jawabnya sambil melahap makanan yang ada di pangkuannya.
Terlihat menyenangkan melihatnya makan hehehe. Saat nasiku mulai tinggal setengahnya aku melihat nasi anak tersebut masih tersisa banyak dengan lauk yang hampir utuh tetapi ia sudah menutup kotaknya dan tetap memangku nasinya. Hmmm aku pikir dia ga cocok lauknya atau dia sudah kenyang achh ga mungkin karena awal makan tadi ia sangat lahap.
“opo’o ga di habiskan?” celetukku padanya
“gpp mba’ ta buat orang rumah aja”
Seketika itu juga nasi yang sudah ada di dalam mulutku susah di telan. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku terdiam sesaat membayangkan biasanya aku selalu makan ga habis, di luar aku makan enak tapi orang tua dan adikku di rumah sudah makan atau belum juga tak tau, makan dengan lauk apa juga tak tau. Hari itu aku belajar apa arti solidaritas dari anak tersebut. Solidaritas yang iya tunjukkan untuk keluarganya dengan berbagi makanan yang harusnya ia sendiri sebetulnya belum kenyang betul. Mungkin ia ingin berbagi supaya apa yang ia makan dan rasakan juga di rasakan oleh keluarganya.
Tak hanya itu saja yang membuatku tercengang. Ketika aku memberikan telurku padanya pun dia menolak. Padahal ku kira dia akan menerima supaya bisa jadi tambahan bekal untuk di berikan ke keluarganya. Akhirnya secara diam-diam aku memasukkan telur itu ke dalam kotaknya tanpa sepengetahuannya. Entah apa sebenarnya yang di pikirkan anak itu sehingga ia menolak pemberianku. Meskipun ia kekurangan tetapi tak sembarangan menerima pemberian orang lain. Tidak seperti sebagian orang2 dewasa yang makin serakah,sudah di beri kelimpahan masih dengan senang hati menerima pemberian orang lain yang kekurangan bahkan ada juga yang sampai merebut hak orang lain.
Sungguh pelajaran berharga buatku melalui kejadian-kejadian kecil yang di tunjukkan anak itu padaku. Belajar itu ga perlu dari yang lebih senior atau yang lebih tinggi sekolahnya atau lebih pengalaman dari kita. Semua guru semua murid di mana pun kita berada pasti akan mempelajari hal-hal baru tinggal kita yang harus memahami dan memaknai tiap kejadian atau situasi kondisi saat itu.