Rabu, 01 Oktober 2014

Saat Dilanda Kemacetan

Music by Enya terdengar dari headset yang kupasang ditelinga kiri mengiringi perjalananku pulang kantor menuju rumah dihari ke 19 bulan September 2014. Jalanan rame dan macet tidak seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin karena jumat banyak yang ingin segera pulang dan menikmati weekend. Sesampainya di jalan sekitar Adityawarman tepatnya sebelah Toserba, jalanan mulai macet cenderung berhenti kadang sedikit-sedikit merambat. Melihat antrean panjang kendaraan membuat aku makin lesu. Apalagi dengar alasan macet karena jalan ditutup untuk persiapan acara peringatan 5 Oktober. Haduhhhh acara masih 2 minggu lebih kenapa menutup jalan mulai sekarang.

Alunan music pun tak dapat mengademkan suasana hati. Sampai mataku tertuju pada anak perempuan usia sekitar 6 taunan. Ia memakai atasan pink dan celana panjang krem yang bagian pantatnya kotor mungkin akibat duduk disembarang tempat yang mudah meninggalkan noda. Tangan kirinya menggenggam plastik es yang telah habis dan menyisakan es batunya saja. Sesekali ia sedot berharap es batu tersebut mencair sedikit demi sedikit. Sedangkan tangan kanannya mendorong gerobak sampah yang ditarik oleh bapaknya. Sesekali tangan kirinya pun juga turut mendorong gerobak. Lalu selang beberapa menit datanglah perempuan mendekatkan motornya pada gerobak sampah. Ia mengulurkan tangan yang menggengam sejumlah uang dan diberikannya ke anak kecil tersebut. Setelah itu segera berlalu mencari celah agar motornya cepat melaju dari kerumunan macet. Anak itu berjalan menyusul bapaknya yang ada dimuka gerobak,
“Pak iki lho” sambil tangan kananya memberikan uang kepada bapaknya.
“ Lho teko sopo?”
“Teko mbak iku.” Kepalanya memberi isyarat menunjuk pada permpuan yang memberinya tadi.
Aku sudah berada didepan mereka dan mencuri-curi pandang penasaran sambil melihat anak tersebut dari spion motor. Diusianya yang masih dini harusnya ia bermain dan bersenang-senang bersama teman-temannya tapi malah membantu bapaknya mendorong gerobak sampah. Setelah diberi uang tidak disimpan dan digunakan untuk kesenangannya malah diberikan semua kepada bapaknya. Seolah ia paham betul akan kebutuhan orang tuanya sehingga rela memberikan uang yang diperoleh untuk bapaknya supaya dapat digunakan menyambung kebutuhan hidup. Berbanding terbalik dengan anak-anak yang sempat aku beri les privat dulu ketika masih kuliah. Tiap aku datang memberi les, pembukanya tak jarang mereka menunjukkan mainan baru dari orangtuanya. Belum cukup mainan-mainan itu seusai les pun kadang ada yang menagih janji orang tuanya untuk membelikan es krim,mainan atau pergi ke mall jika mereka rajin dan menurut saat les.

Tak terasa akhirnya motorku pun lolos dari kemacetan dan dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Walaupun masih terngiang dengan potret kehidupan anak perempuan pendorong gerobak sampah yang aku lihat tadi. Ada pertanyaan yang terbesit dibatinku, Ia membantu orangtuanya pilihan dia sendiri atau dipaksa oleh orang tuanya ya. Meskipun dipaksa dari raut wajahnya tak menyiratkan wajah yang grundel karena terpaksa. Padahal ia dalam keadaan berat ketika mendorong gerobak,belum lagi suasana yang bikin gerah wajahnya tetap adem. Berbeda dengan wajah kami yang kusut, lesu, ga sabaran saat dilanda macet. Wajahnya yang adem mengajarkanku untuk tetap tenang dan menikmati ritme kehidupan meski kadang tak selalu mudah, berbatu terjal dan penuh liku.