Rabu, 25 Februari 2015

Ujianmu nak...

Sore itu cerah, kuparkir motorku disamping sanggar dan kulihat banyak anak sudah berkumpul. Di teras sanggar beberapa anak usia TK-SD kelas 3 bergerombol dengan salah satu pendamping. Aku masuk dan ikut nimbrung dengan anak yang lebih dewasa sekitar SD kelas 4 keatas. Ada yang asik makan rambutan dan sepasang sedang bermain catur. Aku mengikuti jalannya permainan catur itu sampai seorang bocah curhat kepadaku masalah sekolahnya aku tak menyadarinya. Si bocah itu menepuk pahaku, “ mbak rungokno aku ta”.  Aku pun terkejut. Dalam hati aku tadi melamun atau asik mengikuti permainan catur ya. Hari-hari ini otakku serasa ruwet full sampai2 bocah itu curhat soal sekolahnya  aku hampir tak bisa memberinya solusi,motivasi ataupun nasehat. Yang bisa kulakukan hanya mendengarkan dengan seksama. Walaupun hanya didengar, dari raut wajahnya Nampak sumringah lega bisa ngeluarin uneg-unegnya.

Kegiatan pun beralih ke latihan persiapan pentas. Sebagian anak yang telah dipilih untuk tampil dipentas langsung mengambil posisi masing-masing. Sedangkan aku beranjak ke teras untuk mendampingi anak-anak yang sedang menggambar. Sesekali aku memperhatikan anak-anak yang sedang latihan. Celometan dan tingkah mereka bebas banget dan kocak,membuat orang yang nonton senyum2 kadang tertawa geli. Sampai-sampai pendamping yang sedang melatih kewalahan untuk mengajak konsentrasi. Yah tapi itulah anak-anak.

Entah awalnya bagaimana tiba-tiba kami pendamping sedang membahas salah satu anak. Anak itu lincah dan menyenangkan. Tapi ternyata dibalik semua itu ada kisah yang memilukan. Ia habis dihajar oleh ayahnya lalu ketempat ibunya berharap mendapat perlindungan ternyata malah dihajar pula. Akhirnya ia kabur dari rumah dan diberi tumpangan oleh pemilik warnet. Seusai anak-anak pulang dan sanggar mulai sepi tiba-tiba mendengar kabar bahwa ibu anak tersebut meninggal. Hmm barusan aja dibahas kasusnya eh sekarang nambah lagi ujian anak itu.

Kami para pendamping menyusul kerumah duka. Anak itu menangis sejadi-jadinya. Air mataku pun hampir tumpah. Beberapa menit yang lalu anak itu tertawa terbahak-bahak dengan teman disanggar, pulang-pulang mendengar kabar ibunya telah tiada. Tak sempat ia berdamai dengan ibunya sekarang melihat tubuh terbujur kaku tepat 8 hari lagi dia genap berusia 11 tahun.


Jika aku melihat dengan kacamataku, begitu banyak ujian yang ia hadapi diusianya yang sangat dini. Hidup pisah dari orang tua, sekarang malah kehilangan salah satu ortunya. Dulu ketika usiaku sebelas tahun adalah masa-masa yang menyenangkan. Masa dimana aku dapat bermanja dan bersenda gurau dengan ortuku. Dengan menoleh ke kehidupan anak itu membuatku bersyukur atas ujianku sekarang. Berhari-hari merenungi ujian ga ada gunanya, memang sudah saatnya beranjak dan menjalaninya. Semoga anak itu selalu dapat bertahan di tiap lika liku kehidupan dan dapat mengejar mimpi-mimpinya.