Sang mentari perlahan kembali ke peraduaannya. Suasana malam yang tak biasa aku jumpai di kotaku Surabaya. Gelap, listrik belum masuk di dusun Sungai Dungan,Kalimantan Barat ini. Kami siap bergegas menuju hilir dengan lampu senter sebagai penerang jalan untuk berdoa Rosario bersama. Berjalan harus hati-hati karena kalau tidak akan menginjak ranjau dari kotoran sapi ataupun babi. Sesekali aku menyorotkan senterku ke sekeliling,wah ternyata sapi- sapi juga bergerombol sedang istirahat. Sapi ataupun babi di dusun ini di biarkan bekeliaran begitu aja tanpa di buatkan kandang. Saat itu ada 1 rumah tepat di sebelah kanan dalam perjalanan menunju hilir yang terang ternyata mereka menggunakan diesel sebagai pembangkit listrik.
Aku tak bisa melihat dengan jelas bangunan sekelilingku. Jika senter kuarahkan agak tinggi ke sekeliling dan mengenai mata orang lain takut membuat silau, jadi senter hanya aku buat untuk menerangi langkahku beberapa meter dari tubuh dengan sudut jatuh ke bawah. Dalam hati mana ya rumah yang akan di tuju. Nah, ketika langkah teman-teman mulai terhenti, pelan-pelan kami memasuki sebuah rumah yang Nampak dari pintu yang terbuka seperti ada pelita yang menerangi. Di dalam ternyata sudah berkumpul anak-anak duduk melingkar bersandar dinding rumah yang terbuat dari kayu. Setelah masuk melewati pintu utama aku duduk di sebelah kiri tak jauh dari pintu tersebut. Di dalam rumah ini tak perlu senter karena ada beberapa pelita tersebar di tengah-tengah kami yang sedang duduk melingkar. Pelita itu terbuat dari kaleng atau botol kaca bekas yang di beri sumbu dan di isi dengan bahan bakar.
Selang beberapa menit sejak kedatangan kami, seorang anak mulai memimpin doa Rosario tersebut. Butir demi butir Rosario telah kami doakan bergilir berlawanan dengan arah jarum jam. Yang hadir dalam Doa Rosario tersebut sekitar 25 orang mayoritas anak-anak dan hanya 7 orang dewasa dari rombonganku termasuk Ibu yang tinggal di rumah tsb. Sehingga ketika Doa tersebut di doakan bersama-sama yang lebih menonjol adalah suara anak-anak. Suara mereka bagaikan malaikat yang sedang bernyanyi. Apalagi suasana remang-remang menambah kekhusukan doa tersebut. Dari awal doa,nyanyian dan hingga pada akhir, anak-anaklah yang memimpin,mungkin dari awal sudah ada pembagian tugas sehingga waktu doa mereka langsung melaksanakan tugasnya masing-masing.
Usai doa, ibu yang empunya rumah mengeluarkan kudapan untuk kami yang hadir. Kudapan itu berupa ketan yang di beri parutan kelapa dan di letakkan di atas piring. Kami menikmati kudapan tersebut 1 piring untuk beberapa orang karena yang tersedia hanya beberapa piring. Tak lama kemudian bapak yang sekaligus kepala dusun memasuki rumah tersebut dan membawakan kopi dalam 1 teko dan beberapa gelas untuk rombongan kami. Dalam hati oh my God kopi lagi. Dari pagi sampai malam itu mungkin aku sudah 3 atau 4 kali minum kopi. Sedangkan biasanya sekali minum kopi bisa membuat mataku melek sepanjang hari tidak hanya itu kadang lambungku juga bermasalah kalau kebanyakan. Maka dengan berat hati aku tak minum kopi yang bapak itu suguhkan. Eitss menolak pemberian di sini ga hanya sekedar menolak tapi harus posek-posek kalau ga gitu bisa kena mali. Posek-posek itu dengan mencelupkan atau menyentuh makanan yang di suguhkan ke jari setelah itu menjilatnya. Kalau aku bilang sich mencicipi. Sedangkan mali itu sendiri artinya pantangan kalau dalam jawa hampir mirip dengan pamali. Menurutku hal itu bertujuan untuk menghargai orang yang sudah menyediakan untuk kita.
Semalam di dusun Sungai Dungan ini membuatku merasa nyaman hidup jauh dari sarana dan prasarana modern. Tanpa ada listrik mereka masih bisa berdoa dengan khusuk,belajar dalam remang-remang, tidak autis dengan telephone genggam. Ga ada kemacetan yang ada malah mereka bisa bermain puas dengan lahan yang amat berlimpah ruah.
Menyantap Kudapan Usai Doa Rosario |