Rabu, 01 Oktober 2014

Saat Dilanda Kemacetan

Music by Enya terdengar dari headset yang kupasang ditelinga kiri mengiringi perjalananku pulang kantor menuju rumah dihari ke 19 bulan September 2014. Jalanan rame dan macet tidak seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin karena jumat banyak yang ingin segera pulang dan menikmati weekend. Sesampainya di jalan sekitar Adityawarman tepatnya sebelah Toserba, jalanan mulai macet cenderung berhenti kadang sedikit-sedikit merambat. Melihat antrean panjang kendaraan membuat aku makin lesu. Apalagi dengar alasan macet karena jalan ditutup untuk persiapan acara peringatan 5 Oktober. Haduhhhh acara masih 2 minggu lebih kenapa menutup jalan mulai sekarang.

Alunan music pun tak dapat mengademkan suasana hati. Sampai mataku tertuju pada anak perempuan usia sekitar 6 taunan. Ia memakai atasan pink dan celana panjang krem yang bagian pantatnya kotor mungkin akibat duduk disembarang tempat yang mudah meninggalkan noda. Tangan kirinya menggenggam plastik es yang telah habis dan menyisakan es batunya saja. Sesekali ia sedot berharap es batu tersebut mencair sedikit demi sedikit. Sedangkan tangan kanannya mendorong gerobak sampah yang ditarik oleh bapaknya. Sesekali tangan kirinya pun juga turut mendorong gerobak. Lalu selang beberapa menit datanglah perempuan mendekatkan motornya pada gerobak sampah. Ia mengulurkan tangan yang menggengam sejumlah uang dan diberikannya ke anak kecil tersebut. Setelah itu segera berlalu mencari celah agar motornya cepat melaju dari kerumunan macet. Anak itu berjalan menyusul bapaknya yang ada dimuka gerobak,
“Pak iki lho” sambil tangan kananya memberikan uang kepada bapaknya.
“ Lho teko sopo?”
“Teko mbak iku.” Kepalanya memberi isyarat menunjuk pada permpuan yang memberinya tadi.
Aku sudah berada didepan mereka dan mencuri-curi pandang penasaran sambil melihat anak tersebut dari spion motor. Diusianya yang masih dini harusnya ia bermain dan bersenang-senang bersama teman-temannya tapi malah membantu bapaknya mendorong gerobak sampah. Setelah diberi uang tidak disimpan dan digunakan untuk kesenangannya malah diberikan semua kepada bapaknya. Seolah ia paham betul akan kebutuhan orang tuanya sehingga rela memberikan uang yang diperoleh untuk bapaknya supaya dapat digunakan menyambung kebutuhan hidup. Berbanding terbalik dengan anak-anak yang sempat aku beri les privat dulu ketika masih kuliah. Tiap aku datang memberi les, pembukanya tak jarang mereka menunjukkan mainan baru dari orangtuanya. Belum cukup mainan-mainan itu seusai les pun kadang ada yang menagih janji orang tuanya untuk membelikan es krim,mainan atau pergi ke mall jika mereka rajin dan menurut saat les.

Tak terasa akhirnya motorku pun lolos dari kemacetan dan dapat melanjutkan perjalanan dengan lancar. Walaupun masih terngiang dengan potret kehidupan anak perempuan pendorong gerobak sampah yang aku lihat tadi. Ada pertanyaan yang terbesit dibatinku, Ia membantu orangtuanya pilihan dia sendiri atau dipaksa oleh orang tuanya ya. Meskipun dipaksa dari raut wajahnya tak menyiratkan wajah yang grundel karena terpaksa. Padahal ia dalam keadaan berat ketika mendorong gerobak,belum lagi suasana yang bikin gerah wajahnya tetap adem. Berbeda dengan wajah kami yang kusut, lesu, ga sabaran saat dilanda macet. Wajahnya yang adem mengajarkanku untuk tetap tenang dan menikmati ritme kehidupan meski kadang tak selalu mudah, berbatu terjal dan penuh liku.

Senin, 16 Juni 2014

Saling Memahami Ibarat Berbicara di Telephone

"Apa?ga kedengaran suaramu..." Gusar Gita yang sedang mengangkat telephone sambil membereskan kertas-kertas di atas meja kerjanya dengan terburu-buru.
"Hmm telingamu di bersihin dulu napa.ini volume udah lumayan kalee"
"Bukan masalah bersih ato ga telingaku.tapi suaramu itu amat kecil dan jauh. Mau ngobrol apa sich udah tau ini masih jam kerja."
"Oke2 jadi begini ntar sore aku jemput adek setelah itu ke supermarket dan mengantar adek ke tempat les,nah tolong kamu jemput adek usai les ya.aku akan jemput mama arisan" Kata Juni dengan meloudspeaker telephone karena ia sedang asig memberi warna2 pada kukunya alias kutekan.
"Ok aku jemput mama usai arisan brati ya."
"Hadehhhh kenapa ga paham2 sich,kamu jemput..." Tiba2 tut..tut..tut..suara telephone terputus..

Dalam cuplikan percakapan via telephone itu tadi si Juni dengan santai menjawab obrolan si Gita. Padahal posisi Gita masih di tempat kerja. Dan pastinya masih sibuk dengan kerjaan. Malahan Juni meloudspeaker telephone karena tangannya asig kutekan sehingga tidak bisa pegang telephone. Acap kali kita menomorsatukan kepentingan pribadi tanpa melihat kondisi lawan. Juni amat santai menjawab telephone dengan suara pelan karena baginya volume seperti itu sudah dapat ia tangkap dengan jelas. Tanpa ia berpikir bagamaina kondisi lawan bicaranya di seberang sana. Andaikan Juni memahami kondisi Gita,di jam kerja pasti sibuk apa ga lebih baik kirim pesan singkat (sms). Atau dia berhenti sejenak mewarnai kukunya untuk fokus bicara kepada Gita sehingga telephone tanpa di loudspeaker. Mungkin itu akan lebih jelas dan terhindar dari salah paham dan emosi.

Dalam hidup itu hendaknya saling. Saling melayani, saling memberi, saling menghargai, saling memaklumi dan saling-saling yang lain. Seperti sedang bicara di telephone, pastinya harus menyesuaikan suara agar lawan bicara di seberang sana mendengar dan paham suara kita. Ga bisa kita egois karena diciptakan dan merasa suara saya kecil dan lembut maka saya berbicara pelan karena bagi saya dengan volume pelan saya masih mendengar suara saya apalagi meminta si lawan memaklumi kekurangan kita. Bayangkan jika saya tetap egois berbicara di telephone dengan suara pelan,apa yang akan terjadi dengan lawan bicara saya di seberang sana?pastinya seperti contoh di atas. Info yang di terima salah,lawan bicara marah,rencana ga berjalan dengan lancar. Dalam berelasi dengan siapa saja harusnya memperhatikan nasib lawan kita. Gampangannya posisikan diri kita di posisi lawan. Apa yang terjadi?bagaimana perasaan mereka?dengan begitu kita akan bisa belajar bagaimana memahami satu sama lain. Susah dijalani?? Yuk belajar bareng untuk sesuatu yang lebih baik…

Jumat, 06 Juni 2014

Cinta dan Seks bagi Seorang Pelacur (Eleven Minutes by Paulo Coelho)

Tiap gadis pasti berharap akan datangnya Cinta. Impian dan imajinasi akan sosok pria bak pangeran yang kelak akan menjemput gadisnya untuk dapat hidup bersama. Yah itu wajar jika sebagian gadis mempunyai harapan atau impian seperti itu. Begitupula kisah Maria dalam Eleven Minutes karya Paulo Coelho. Bermula dari cinta pertama Maria yang terpendam, tak sempat ia sampaikan pada usia sekitar 11 tahun membuat dia menyesal dan meninggalkan kenangan dalam relung jiwanya. Sampai ia beranjak dewasa dan memutuskan untuk pergi keluar dari tanah kelahirannya Brasil ke Swiss untuk mencari sensasi yang beda dalam karirnya dan berharap suatu saat ada seorang pria kaya yang melamarnya. Kepergiannya ke Swiss ternyata tak semulus yang ia pikirkan,keadaan malah menuntun dia menjadi seorang pelacur di tempat yang asing. Dengan menjadi pelacur dia semakin jauh dari cinta yang ia harapkan, yang ada malah dia harus melebur diri dan berusaha menemukan cara untuk menikmati seks. Uang dengan mudah ia raup tapi kepuasan seks untuk dirinya sendiri sama sekali tak ia dapatkan, sampai dia bertemu dengan tamu istimewanya yang mengajarkan cara mencapai nikmatnya seks,Maria benar-benar dapat menikmati apa yang disebut seks di dalam kesakitan dan penderitaan atau bisa disebut masokis.

Ia berusaha untuk tak jatuh cinta dengan para tamunya bahkan dia hampir tak mempercayai jika cinta murni dan tulus akan ia jumpai. Sampai suatu saat dia menjumpai Ralf Hart yang mengubah hidupnya, Ralf Hart dapat menyentuh hati Maria,tapi Maria mencegah hatinya agar tak hanyut dalam cinta ini. Semakin dia menahan untuk tidak jatuh cinta semakin membaralah cintanya. Yang ada di pikiran Maria,ia tak ingin mencintai seseorang yang akan membuat orang itu merasa terkekang,merasa dalam sangkar maka dia pun membebaskan Ralf Hart agar tak terkungkung dalam ikatan cinta. Tapi ternyata Ralf Hart memberikan Cintanya dengan tulus kepada Maria dan ia mengajarkan bahwa cinta tumbuh bukanlah dari hal seksual semata.

Manakah yang Maria pilih, orang yang dapat mengajarkan bagaimana nikmatnya seks atau pria yang mengajarkan apa itu cinta sejati atau malah dia akan kembali ke tanah kelahirannya? Paulo mengemas runtutan cerita perjalanan Maria seorang pelacur ini dengan apik, bahkan hal-hal yang dianggap tabu seperti seks ia gambarkan dengan vulgar. Paulo ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa seks ga hanya soal nafsu tetapi soal kesakralan. Menariknya lagi di setiap akhir bab,Maria menuliskan refleksinya selama seharian itu kedalam buku hariannya. Sehingga pembaca bisa merasakan apa yang di alami dan di rasakan Maria sebenarnya bukan hanya dari sudut pandang penulis saja.
“Tiga ratus lima puluh franc swiss untuk semalam?” | “Sebenarnya hanya empat puluh lima menit, dan kalau menghitung waktu untuk membuka pakaian, berpura-pura bersikap manis atau sayang, mengobrol sedikit, lalu berpakaian kembali, waktu yang dihabiskan untuk berhubungan intim hanya sekitar sebelas menit.” – halaman 115.
Kutipan tersebut jelas mengatakan bahwa waktu tersebut yang menginspirasi Paulo Coelho untuk menjadikan “Sebelas Menit” sebagai judul novel ini. Waktu rata-rata di mana para penikmat seks melakukan indahnya persetubuhan.
"Aku bukannya membelikan sesuatu yang kau inginkan,sebaliknya kuberikan sesuatu yang benar-benar milikku."
Bagiku kutipan tersebut menarik karena memberi pesan yang dalam. Jika kita memberikan dengan sukarela dan tulus ikhlas sebagian kecil dari hidup kita sama dengan memberi penghargaan atau suatu kepercayaan kepada orang tersebut untuk memiliki sebagian kecil dari kita.

Penasaran ingin mengetahui detail ceritanya? Silahkan baca aja langsung hehehehe  

Selasa, 03 Juni 2014

Ketika Mentari Kembali ke Peraduannya

Sang mentari perlahan kembali ke peraduaannya. Suasana malam yang tak biasa aku jumpai di kotaku Surabaya. Gelap, listrik belum masuk di dusun Sungai Dungan,Kalimantan Barat ini. Kami siap bergegas menuju hilir dengan lampu senter sebagai penerang jalan untuk berdoa Rosario bersama. Berjalan harus hati-hati karena kalau tidak akan menginjak ranjau dari kotoran sapi ataupun babi. Sesekali aku menyorotkan senterku ke sekeliling,wah ternyata sapi- sapi juga bergerombol sedang istirahat. Sapi ataupun babi di dusun ini di biarkan bekeliaran begitu aja tanpa di buatkan kandang. Saat itu ada 1 rumah tepat di sebelah kanan dalam perjalanan menunju hilir yang terang ternyata mereka menggunakan diesel sebagai pembangkit listrik.

Aku tak bisa melihat dengan jelas bangunan sekelilingku. Jika senter kuarahkan agak tinggi ke sekeliling dan mengenai mata orang lain takut membuat silau, jadi senter hanya aku buat untuk menerangi langkahku beberapa meter dari tubuh dengan sudut jatuh ke bawah. Dalam hati mana ya rumah yang akan di tuju. Nah, ketika langkah teman-teman mulai terhenti, pelan-pelan kami memasuki sebuah rumah yang Nampak dari pintu yang terbuka seperti ada pelita yang menerangi. Di dalam ternyata sudah berkumpul anak-anak duduk melingkar bersandar dinding rumah yang terbuat dari kayu. Setelah masuk melewati pintu utama aku duduk di sebelah kiri tak jauh dari pintu tersebut. Di dalam rumah ini tak perlu senter karena ada beberapa pelita tersebar di tengah-tengah kami yang sedang duduk melingkar. Pelita itu terbuat dari kaleng atau botol kaca bekas yang di beri sumbu dan di isi dengan bahan bakar.

Selang beberapa menit sejak kedatangan kami, seorang anak mulai memimpin doa Rosario tersebut. Butir demi butir Rosario telah kami doakan bergilir berlawanan dengan arah jarum jam. Yang hadir dalam Doa Rosario tersebut sekitar 25 orang mayoritas anak-anak dan hanya 7 orang dewasa dari rombonganku termasuk Ibu yang tinggal di rumah tsb. Sehingga ketika Doa tersebut di doakan bersama-sama yang lebih menonjol adalah suara anak-anak. Suara mereka bagaikan malaikat yang sedang bernyanyi. Apalagi suasana remang-remang menambah kekhusukan doa tersebut. Dari awal doa,nyanyian dan hingga pada akhir, anak-anaklah yang memimpin,mungkin dari awal sudah ada pembagian tugas sehingga waktu doa mereka langsung melaksanakan tugasnya masing-masing.

Usai doa, ibu yang empunya rumah mengeluarkan kudapan untuk kami yang hadir. Kudapan itu berupa ketan yang di beri parutan kelapa dan di letakkan di atas piring. Kami menikmati kudapan tersebut 1 piring untuk beberapa orang karena yang tersedia hanya beberapa piring. Tak lama kemudian bapak yang sekaligus kepala dusun memasuki rumah tersebut dan membawakan kopi dalam 1 teko dan beberapa gelas untuk rombongan kami. Dalam hati oh my God kopi lagi. Dari pagi sampai malam itu mungkin aku sudah 3 atau 4 kali minum kopi. Sedangkan biasanya sekali minum kopi bisa membuat mataku melek sepanjang hari tidak hanya itu kadang lambungku juga bermasalah kalau kebanyakan. Maka dengan berat hati aku tak minum kopi yang bapak itu suguhkan. Eitss menolak pemberian di sini ga hanya sekedar menolak tapi harus posek-posek kalau ga gitu bisa kena mali. Posek-posek itu dengan mencelupkan atau menyentuh makanan yang di suguhkan ke jari setelah itu menjilatnya. Kalau aku bilang sich mencicipi. Sedangkan mali itu sendiri artinya pantangan kalau dalam jawa hampir mirip dengan pamali. Menurutku hal itu bertujuan untuk menghargai orang yang sudah menyediakan untuk kita.

Semalam di dusun Sungai Dungan ini membuatku merasa nyaman hidup jauh dari sarana dan prasarana modern. Tanpa ada listrik mereka masih bisa berdoa dengan khusuk,belajar dalam remang-remang, tidak autis dengan telephone genggam. Ga ada kemacetan yang ada malah mereka bisa bermain puas dengan lahan yang amat berlimpah ruah.
Menyantap Kudapan Usai Doa Rosario

Rabu, 30 April 2014

Penebusan Dosa seorang Sahabat (The Kite Runner by Khaled Hosseini)


               
Akhirnya aku dapat membaca sampai tuntas novel “The Kite Runner” dalam waktu kurang lebih 2 minggu dengan tebal 490 halaman. Bagiku dalam waktu segitu sudah menjadi rekor membaca tercepat karena melihat history membacaku yang sangat lamban hehehe…
                Dari beberapa novel yang aku baca, novel ini benar-benar menarik bagiku. Khaled Hosseini mampu membawa pembaca merasakan dan melihat kekacauan Afganistan saat pertempuran Taliban dan Rusia. Kebengisan, kekejian dan perlakuan kejam terhadap anak-anak di deskripsikan secara detail di dalam novel ini.
                Novel ini berkisah tentang persahabatan 2 anak yaitu Amir dan Hassan. Amir adalah anak dari Agha Sahib (Baba) seorang duda kaya yang suka membantu orang lain dan berasal dari kaum Pashtun,kaum terpandang,sedangkan Hassan adalah anak Ali,kaum Hazara, pelayan Baba yang tinggal bersamanya. Walaupun mereka berbeda ras dan status social, hubungan Amir dan Hassan sangatlah erat. Kebiasaan mereka bermain layangan dan melakukan hal lain bersama-sama sangat mereka nikmati. Hassan mempunyai karakter yang setia dan pemberani berbeda dengan Amir yang berkarakter halus dan pengecut.
                Amir merasa kasih sayang Baba kepadanya terbagi oleh Hassan padahal Ia hanya anak seorang pelayan. Sehingga ada kecemburuan yang muncul dalam diri Amir terhadap Hassan. Amir berusaha mendapat simpati dari Baba dengan mengikuti turnamen layang-layang dan ternyata Ia berhasil memenangkan turnamen tersebut.  Ia bisa menunjukkan kemampuannya dan membuat bangga Baba terhadap dirinya. Kebahagiaan Amir tidak berlangsung lama setelah turnamen layang-layang itu, ia menemukan Hassan di perlakukan tidak senonoh  dan di kerjai oleh Assef dkk, mereka adalah gerombolan anak pembuat onar. Amir tahu dan melihat dengan jelas bahwa Hassan memperjuangkan layang-layang yang telah ia peroleh agar tidak di rebut oleh Assef. Amir pengecut sehingga ia bersembunyi, tidak berani membela Hassan dan pura-pura tidak tahu kejadian itu. Hal ini yang membuat Amir di rundung penyesalan dan rasa bersalah. Ia menyusun strategi untuk memfitnah Hassan mencuri Jam tangannya,sehingga Hassan dan Ali pun angkat kaki dari rumah Baba. Dengan hilangnya Hassan dari kehidupannya, ia berharap dapat melupakan dosanya yang telah mengabaikan Hassan ketika di kerjai Assef. Dan bisa dengan mudah merebut hati Baba agar sayang terhadap dirinya seorang. Beberapa tahun kemudian Baba dan Amir mengungsi ke Amerika karena keadaan Afganistan yang sudah porak poranda di bawah kekuasaan Taliban yang bengis.
                Itu awal permulaan cerita Amir memasuki kehidupan yang di hantui rasa bersalahnya. Akankah Amir dapat menebus dosanya terhadap Hassan? Atau dia dapat hidup tenang dengan Soraya,Istrinya yang ia jumpai di Amerika? Dan siapa sebenarnya Hassan itu? Semua di kemas secara gamblang dan apik oleh Khaled Hoseini dan tidak itu aja, pembaca juga akan di kejutkan dengan kejadian-kejadian yang tak terduga.
Di halaman awal Khaled Hossini menuliskan

“Sesuatu terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan jalan hidup seseorang.”
Dari novel ini dapat di lihat bahwa kesetiaan sangatlah berharga dalam sebuah persahabatan. Ketika kesetiaan mulai di khianati hal itu akan menjadi sebuah momok yang akan terus menghantui hidup seseorang. Maka dari itu hargailah setiap kesetiaan yang  ada dengan siapa pun agar tak menjadi penyesalan di kemudian hari.
                 


Kamis, 20 Maret 2014

Belajar Solidaritas darimu


13E!!! senyumku langsung merekah melihat angka itu. 13 E adalah nomor seatku di Kereta Api Penataran jurusan Malang-Surabaya yang aku tumpangi.
“nang kene ta mbak?” aku mengganggukkan kepala menjawab pertanyaannya sambil tos dengannya. Dia anak laki2 yang tiba lebih dulu di bangku sebelahku. Perjalananku kali ini bersama anak-anak dari salah satu sanggar di Surabaya yang usai tampil di Malang.
Beberapa anak sudah kelihatan capek maklum mereka sejak Jumat berada di Malang. Dan kegiatan-kegiatan juga sudah mereka lakukan sehingga di akhir acara yaitu perjalanan pulang ini mereka nampak letih. Maka dari itu mereka sudah tak banyak beranjak dari bangkunya tidak seperti perjalanan waktu berangkat ke Malang yang sangat aktif ada yang becanda,main alat music, bernyanyi dan masih banyak lagi. Bisa jadi karena perjalanan pulang ini penumpang kereta lumayan padat sehingga membatasi gerak mereka.
Di tengah-tenngah suara kereta yang sedang melaju kami mulai membuka nasi yang memang dari awal tiap anak di bekali 1 kotak nasi untuk dapat di makan saat di kereta. Ada beberapa anak yang masih kenyang karena sebelum berangkat sudah makan,sehingga mereka menunda makan saat itu,ada pula yang langsung melahap makanan tersebut.
“Laper??” aku membuka obrolan dengan anak di sebelahku
“iya mbak” jawabnya sambil melahap makanan yang ada di pangkuannya.
Terlihat menyenangkan melihatnya makan hehehe. Saat nasiku mulai tinggal setengahnya aku melihat nasi anak tersebut masih tersisa banyak dengan lauk yang hampir utuh tetapi ia sudah menutup kotaknya dan tetap memangku nasinya. Hmmm aku pikir dia ga cocok lauknya atau dia sudah kenyang achh ga mungkin karena awal makan tadi ia sangat lahap.
“opo’o ga di habiskan?” celetukku padanya
“gpp mba’ ta buat orang rumah aja”
Seketika itu juga nasi yang sudah ada di dalam mulutku susah di telan. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokanku. Aku terdiam sesaat membayangkan biasanya aku selalu makan ga habis, di luar aku makan enak tapi orang tua dan adikku di rumah sudah makan atau belum juga tak tau, makan dengan lauk apa juga tak tau. Hari itu aku belajar apa arti solidaritas dari anak tersebut. Solidaritas yang iya tunjukkan untuk keluarganya dengan berbagi makanan yang harusnya ia sendiri sebetulnya belum kenyang betul. Mungkin ia ingin berbagi supaya apa yang ia makan dan rasakan juga di rasakan oleh keluarganya.
Tak hanya itu saja yang membuatku tercengang. Ketika aku memberikan telurku padanya pun dia menolak. Padahal ku kira dia akan menerima supaya bisa jadi tambahan bekal untuk di berikan ke keluarganya. Akhirnya secara diam-diam aku memasukkan telur itu ke dalam kotaknya tanpa sepengetahuannya. Entah apa sebenarnya yang di pikirkan anak itu sehingga ia menolak pemberianku. Meskipun ia kekurangan tetapi tak sembarangan menerima pemberian orang lain. Tidak seperti sebagian orang2 dewasa yang makin serakah,sudah di beri kelimpahan masih dengan senang hati menerima pemberian orang lain yang kekurangan bahkan ada juga yang sampai merebut  hak orang lain.
Sungguh pelajaran berharga buatku melalui kejadian-kejadian kecil yang di tunjukkan anak itu padaku. Belajar itu ga perlu dari yang lebih senior atau yang lebih tinggi sekolahnya atau lebih pengalaman dari kita. Semua guru semua murid di mana pun kita berada pasti akan mempelajari hal-hal baru tinggal kita yang harus memahami dan memaknai  tiap kejadian atau situasi kondisi saat itu.



Selasa, 25 Februari 2014

Cagar Budaya di Tengah Kota Surabaya

Saat asyik menikmati semangkok bakso Jalil tiba-tiba mata fokus melihat segerombol turis turun dari 2 bis menuju ke Arca Joko Dolog. Teman saya langsung nyeletuk "emang kamu sudah pernah masuk ngeliat arca itu?"

Yup setiap pagi sewaktu berangkat ke kantor selama hampir 4 tahun saya melewati arca tsb (kebetulan kantor saya dekat dengan arca Joko Dolog)tak pernah sekali pun saya luangkan waktu untuk mampir dan masuk ke area arca hehehe. Harusnya malu sich dengan para turis yang jauh2 datang untuk melihat,mengagumi bahkan ingin mengetahui sejarah arca Joko Dolog. Dalam hati pun juga bertanya-tanya sapa ya Joko Dolog itu. Koq di tengah2 kota gini ada arca. Dengan bantuan mbah Google ketemulah jawabannya......berikut sekelumit rangkuman beberapa sumber dari mbah Google.

Nama Joko Dolog berasal dari sejarah penemuan arca itu sendiri. Arca tsb di temukan warga di bawah Kayu jati gelondongan (Dolog) dan kata Joko di ambil dari kata Jogo yang kemudian di ucapkan warga menjadi Joko. Konon katanya arca ini merupakan bentuk penghormatan Raden Wijaya (Raja pertama di Kerajaan Majapahit) terhadap Kertanegara (Raja terakhir dari Raja Singosari). Arca ini terletak pada pusat kota. Tepat samping Taman Apsari depan Grahadi ada gang masuk tinggal lurus aja. Dari beberapa meter nampak sejuk sekali karena di dalam area Arca ada pohon beringin yang lumayan besar sehingga buat suasana nyaman dan adem.


Para Turis sedang berkunjung ke Arca Joko Dolog
Maap Fotonya ga jelas karena ambil diam2 dari tempat makan bakso hehehehe. Ntar dech tunggu trip saya selanjutnya dan saya sempatkan mampir ke Arca Joko Dolog ini. Pastinya akan lebih saya gali info serta foto arca tsb...http://eemoticons.net

Jumat, 24 Januari 2014

Dolan Sambil Belajar di Salatiga


Bingung memilih… Yup itulah yang kurasakan saat harpitnas di pertengahan January 2014. Bingung memilih ke arah mana kakiku melangkah untuk melepas penat alias dolan a.k.a mbolangtersenyum lebar Ada beberapa tawaran dari teman-teman yang menarik dan ingin ku ikuti semua seperti wisata ke Gunung Kelud, mendaki Gunung Penanggungan dan ke Salatiga. Tapi raga ini hanya satu jadi aku harus memilih dengan berbagai pertimbangan, kesehatan dan yang paling utama perijinan ortu akhirnya pilihanku jatuh pada Salatiga.

Walaupun sudah memilih tak mudah rasanya hati ini ikhlas, ibaratnya raga dsini tapi pikiran mbolang kemana-mana. Saat perjalanan itu pikiranku selalu membayangkan betapa asiknya teman-teman yang sedang prepare mendaki,pasti disana menyenangkan bisa melihat sunrise, bisa menghirup udara di gunung dan masih banyak lagi pikiran-pikiran yang berkecamuk. Yah maklum sich karena aku suka dengan gunung hehehe jatuh cinta

Eh ternyata pikiran jenuhku membayangkan gunung berhenti seketika saat mulai memasuki kota Salatiga. Kota ini berbatasan dengan kabupaten Semarang dan Surakarta. Terletak di lereng timur Gunung Merbabu maka tak heran kalau udaranya sejuk dan jalanannya pun naik turun dan berkelok-kelok. Itulah sebabnya kota itu dapat menarik perhatianku sehingga aku bisa melanjutkan perjalanan ini dengan menikmati detail dari kota itu. Jadi pikiran dan raga bisa jalan sejalur ga mbolang kemana-mana 

Di Salatiga kami bertandang ke School of Life Lebah Putih yaitu sekolah yang mengedepankan system pembelajaran berdasarkan inquiry. System ini di wujudkan agar anak terbiasa untuk mengembangkan rasa ingin tahu mereka sehingga bisa muncul kekreatifan anak dan kemandiriannya. Sekolah tersebut hampir tak Nampak kalau ada aktifitas belajar formal seperti di sekolah2 pada umumnya. Begitu masuk kami di sambut dengan hamparan pekarangan yang nampak asri dan hijau. Pekarangan tersebut biasa di gunakan untuk bermain maupun belajar anak-anak. Permainan yang ada pun juga menggunakan bambu, kayu ataupun batu sehingga anak-anak terhindar dari karat karena besi atau kawat. 

Bangunan School of Life Lebah Putih


Saat ini Lebah Putih membuka kelas untuk TK sampai kelas 4 SD. Karena sekolah ini menggunakan system inquiry tersebut maka di dalam pembelajaran ini anak tidak selalu di beri tapi di biarkan untuk mencari tau sendiri. Semisal pelajarannya mengenai metamorphosis kupu-kupu. Anak-anak di biarkan lepas bebas di hutan kecil di samping sekolah. Di hutan tersebut mereka mencari mana yang namanya kepompong, ulat atau kupu-kupu. Sehingga mereka tidak hanya belajar berdasarkan gambar tapi melihat langsung secara nyata objek yang mereka pelajari.

Kebetulan waktu kami kesana adalah snack time. Setelah ada music petanda peringatan snack time Anak2 berhamburan keluar ke pekarangan yang hanya di alasi tikar. Aku pikir ga ada orang jualan lalu mereka mau makan snack apa atau mungkin dari pihak sekolah sudah menyediakan snack kali ya. Ternyata dugaanku salah mereka di wajibkan membawa snack sendiri dari rumah dan tidak boleh berbahan coklat. Itu mereka wajibkan supaya orang tua mereka juga peduli dengan gizi anak-anaknya dan kenapa tidak boleh coklat karena coklat bisa memberi dampak yang buruk bagi anak-anak missal gigi berlubang ataupun ada yang tidak tawar makan coklat maka lebih baik semua anak dilarang membawa coklat.

Setelah snack time tanpa ada perintah dari kakak pendamping anak-anak langsung pergi ke kelas untuk mengambil sikat gigi beserta odol dan menyikat gigi mereka di pancuran air yang di desain sangat unik yaitu berbentuk pohon bercabang2 yang juga di gunakan untuk tempat wudhu. Ketika itu ada anak yang malas menyikat gigi lalu kakak pendamping menyemangati anak tsb dengan sebuah lagu untuk menyikat gigi, sepenggal lagunya seperti ini “ brush up…brush down…” ternyata dari menyikat gigi sekolah tersebut menggunakan nyanyian yang mudah di ingat oleh anak-anak.Tak hanya menyikat gigi,menghitung pun mereka punya nyanyian sendirian sehingga anak-anak mudah untuk memahaminya serta menyenangkan jika belajar sambil bernyanyi. 

Pancuran air untuk cuci tangan,sikat gigi ataupun wudhu


Oia di sekolah Lebah Putih ini seorang guru tidk di panggil Pak atau Bu melainkan “Kak” dan hal memberi salam, anak ga hanya mencium tangan kakak pendampingnya tapi kakak pendamping juga menempelkan tangan anak ke pipi mereka. Banyak pro kontra dari orang tua murid karena di anggap tidak sopan tetapi sekolah ini punya alasan menerapkan hal ini yaitu supaya hubungan antara pengajar dan anak menjadi dekat seperti sahabat sehingga dalam proses belajar mengajar anak bisa semakin nyaman. Karena memang tugas pengajar sebenarnya adalah untuk mendampingi anak-anak belajar bukan untuk mendikte atau malah di takuti sehingga anak-anak bisa kreatif, mandiri dan dapat mengeksplore rasa ingin tahunya.

Setelah belajar dan memahami system belajar di School of Life lebah Putih kami beranjak ke Sekolah Alam Qoriyah Toyibah. Letaknya di Desa Kalibening Kecamatan Tingkir Kabupaten Salatiga Jawa Tengah. Kurang lebih 3 km ke arah selatan luar kota, masih berada di lereng gunung juga. Sama dengan Lebah Putih, sekolah ini tak Nampak seperti sekolah formal yang mempunyai sederet ruang kelas , pagar dan plang nama sekolah. Yup inilah sekolah alam Qoriyah Toyibah, sebuah sekolah yang menggunakan alam sebagai sarana untuk belajar. Anak-anak di biarkan belajar di manapun sesuka hatinya. Bisa di sawah, halaman ataupun ruangan. Qoriyah Toyibah di ambil dari bahasa arab yang artinya desa yang berdikari. Jadi sekolah ini pun juga ga lepas dari dukungan masyarakat sekitar. Para siswa di biasakan untuk memahami dan membantu memecahkan masalah dari para warga.

Sekolah ini unik,karena tidak menggunakan kurikulum seperti sekolah2 formal. Siswa di bebaskan membuat kurikulum sendiri sesuai dengan target yang mereka inginkan. Misalnya siswa tersebut ingin belajar menulis maka ia membuat rencana belajar atau kurikulum minggu pertama menulis bab pembuka atau siswa lain misal ingin membuat buletin maka dia membuat rancangan untuk minggu pertama membaca, cari sumber, menulis dll. Jadi intinya kurikulum tiap2 siswa berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan. Karena kebebasan memilih itulah siswa bisa lebih focus dalam mencari tau ilmu, minat atau bakat yang mereka pilih. Lagi-lagi peranan pengajar di sekolah ini bukanlah semata-mata mengajar tapi mendampingi. Dari ketekunan dan kebebasan yang di berikan, siswa menjadi senang dan nyaman dalam belajar tanpa paksaan. Dan hasilnya sangat membanggakan mereka dapat memproduksi buku, lukisan ataupun film sendiri.

Setelah belajar dari Sekolah Qoriyah Toyibah,jika siswa ingin melanjutkan ke ke jenjang berikutnya dapat mengikuti ujian keseteraan atau kejar paket. Hasil ujiannya pun juga memuaskan, beberapa siswa ada yang melanjutkan ke fakultas kedokteran dan fakultas2 yang lain.

Malam itu ketika kami berada di Qoriyah Toyibah para siswa sedang memamerkan hasil karya mereka di café Merah Putih. Sungguh luar biasa hasil karya mereka, ada lukisan-lukisan yang sengaja di tata rapi oleh pihak café di dinding tembok cafe, buku karya original dari mereka dan tak kalah seru dan menghibur para pengunjung café yaitu lantunan lagu yang mereka nyanyikan. Lagu-lagu yang di nyanyikan beberapa ada yang cipta’an mereka sendiri lho… bayangkan saja di usia mereka yang masih belasan taun sudah bisa membuat hasil karya buku, lagu, lukisan dan lain-lain. Bagaimana denganmu??apa yang sudah kalian hasilkan??


Hmmm… perjalanan ke Salatiga ini bisa di bilang dolan sambil cari ilmu nich… dari 2 sekolah yang kami kunjungi benar-benar membuka wawasanku bahwa belajar itu ga perlu kaku seperti sekolah formal umumnya. Di sekolah formal angka atau nilai menjadi patokan anak itu pintar apa ga tanpa melihat apa yang menjadi kebutuhan anak itu sendiri. Kerap melihat para orang tua memforsir anak dengan berjibun kegiatan les di luar sekolah, para guru yang memberikan PR banyak, semua itu justru akan membuat anak tertekan dan kehilangan masa kecil mereka. Coba bayangkan saja untuk anak kelas 4 ke atas pulang sekolah pukul 1 nanti di lanjutkan les pukul 3 sampai pukul 5 (ini contoh kalau yg di ikuti 1 les aja kalau lebih dari 1???) sampai di rumah masih harus mengerjakan PR dari sekolah. Kapan bisa melakukan hal yang di sukai anak itu sendiri. Andai saja sekolah formal dapat mencontoh sekolah-sekolah alternative ya…..