Selasa, 24 September 2013

Si Hijau Toska yang Memukau



Akhir minggu adalah saat yang tepat untuk ajang balas dendam setelah berhari-hari bergelut dengan pekerjaan kantor yang sangat menyita waktu, polusi dan kemacetan kota Surabaya yang membuat hari-hari sangat melelahkan. Nah,kali ini kami kami memilih destinasi melepas penat ke Kawah Ijen. Perjalanan menuju Kawah Ijen bisa ditempuh melalui jalur Banyuwangi atau Bondowoso. Kebetulan posisi kami sejak kemarin berada di rumah teman di Jember maka lebih mudah dan dekat lewat jalur Bondowoso. Kurang lebih sekitar 3 jam perjalanan menggunakan mobil pribadi menuju ke Paltuding (pintu masuk pendakian).

Sesampainya di Paltuding kami sempat menengadah ke atas ke arah Gunung Ijen yang akan kami daki,hmm...tinggi nian, terbesit dalam pikiran sanggup ga ya mencapai puncak? Awal mula pendakian memang terasa seperti jalan kaki biasa dan ringan karena jalan yang kami lalui datar. Lama-lama kami menemui beberapa kali tanjakan dengan kemiringan sekitar 25-35 derajat di tambah dengan medan yang berkerikil sehingga untuk jalan pun agak susah, nafas kami terasa berat,dan jantung berdegup kencang. Tiap jalan 100 meter kami kewalahan dan berhenti sejenak untuk minum maklum hari-hari sebelum pendakian tak ada latihan fisik sama sekali. Jadi saran untuk teman-teman yang akan mendaki Kawah Ijen sebaiknya latihan jogging itu penting demi kelancaran pendakian dan ketika istirahat jangan banyak minum air karena akan membuat perut mual.

Selama pendakian kami tak henti-hentinya disuguhi pemandangan yang luar biasa menyejukkan mata,di kanan jalan terlihat beberapa gunung dan pemandangan kota sekitar yang nampak dari atas indah sekali. Saat pendakian kami juga berpapasan dengan wisatawan lokal maupun asing yang selalu memberi senyuman dan menyemangati kami supaya tetap semangat melanjutkan perjalanan sampai puncak. Selain berpapasan dengan wisatawan kami juga berpapasan dengan para pengangkut belerang. Pengangkut belerang tersebut memikul belerang dengan berat sekitar 70-100 kg dan di hargai sekitar Rp 600- Rp 700 per kilogramnya serta mereka hanya mampu memikul 1-2kali sehari. Bisa dibayangkan dengan medan yang berat serta pikulan yang tak ringan mereka mengais rejeki untuk keluarga mereka. Sungguh sangat bersyukur dan menginspirasi kami agar tak mudah mengeluh dengan pekerjaan dan rejeki yang sudah kami peroleh setiap hari.

Sampailah kami di pos timbangan,setelah menempuh kira-kira 2km mendaki. Pos tersebut adalah tempat para pengangkut belerang menimbang hasil pikulan mereka, disamping itu pos tersebut juga menjual makanan dan minuman ringan. Sehingga kami bisa beristirahat sejenak,mengatur nafas, meluruskan kaki dan sedikit makan minum sebelum melanjutkan pendakian.


Setelah memulihkan kondisi, kami melanjutkan pendakian yang kurang sepertiga perjalanan. Dan kurang lebih 1 km dari pos timbangan, bibir Kawah Ijen mulailah tampak. Dari sisa-sisa tenaga yang kami punya, kami melanjutkan perjalanan yang sudah mulai datar dan benar-benar tak sabar ingin segera melihat Kawah Ijen yang kata orang menakjubkan itu. Dan wow akhirnya kami pun sampai di Kawah Ijen yang berwarna hijau toska itu. Sungguh menakjubkan pemandangan di puncak Kawah Ijen walaupun saat itu kabut menyelimuti si hijau toska tersebut. Maklum sampai di kawah, jam tangan menunjukkan pukul 1 siang. Seharusnya waktu yang tepat untuk mengunjungi Kawah Ijen itu sekitar pukul 21.00 sudah mulai mendaki sehingga pukul 01.00 dini hari bisa menjumpai blue fire yang muncul dari kawah sampai menjelang sunrise yang ga kalah indah kata warga setempat. Eitss tunggu dulu ternyata kami masih beruntung lho walaupun ga dapat menjumpai blue fire ataupun sunrise. Sekitar 15 menit kami disekitar kawah sambil menikmati pemandangan,angin berhembus dan mengahalau kabut yang menutupi 'si hijau toska'. Sorak sorai riang langsung keluar dari mulut kami begitu 'si hijau toska' nampak. Rasa capek langsung hilang begitu melihat pemandangan yang benar-benar menakjubkan ini.

Perjalanan yang begiitu mengesankan. Berjalan bersama kawan dan menikmati hasil ciptaanNya yang begitu memukau. Semoga perjalanan ini juga selalu menginspirasi kami agar selalu menjaga kelestarian alam dan selalu bersyukur dengan segala yang telah diberikanNya dengan bercermin pada pengangkut belerang yang tetap semangat dan selalu tersenyum walaupun beban yang mereka pikul tak ringan.

Bantuan Sederhanamu Membuat Aku Tertegun

Seusai acara memperingati HUT sebuah sanggar di Surabaya saya dan beberapa rekan mulai merapikan ruangan,membuang sampah dan kegiatan lain untuk mengembalikan ruangan tersebut seperti semula. Ketika aku membereskan air mineral cup yang masih utuh ke dalam kardus-kardus kosong, tiba-tiba dari belakang ada anak kecil yang turut membantuku. Padahal teman sebayanya sebagian sudah pulang kerumah dan banyak pula yang bermain-main di luar halaman gedung. Yang ada di pikiranku ach mungkin anak ini menginginkan air mineral untuk di bawa pulang atau bisa jadi dia ingin kardus kosongnya untuk di kumpulkan (karena mereka adalah anak-anak pinggiran yang bagi mereka kardus sangat berarti jika mereka kumpulkan). Setelah selesai merapikan aku menawarkan air mineral atau kardus kepadanya tapi dia menggelengkan kepalanya lalu beranjak keluar. Aku hanya tertegun diam dan melihat anak itu keluar sampai hilang dari pandangan mataku. Ternyata aku salah tafsir dia benar-benar membantuku tanpa menginginkan imbalan apapun.

Jarang bahkan sangat sulit di temui orang membantu tanpa pamrih di jaman sekarang ini. Kadang kita meminta bantuan ke orang lain susah sekali kalau ga gitu mereka mau bantu asalkan atau ada syarat tertentu. Atau bisa jadi orang pura-pura ga tau dengan masalah atau penderitaan orang lain. Masa bodoh dengan penderitaan atau kesusahan orang lain, “masalahku aja belum kelar ngapain bantu orang lain”. Padahal pada hakikatnya manusia diciptakan saling tolong menolong lho.. Membantu orang lain juga ga perlu harus sampai menuntaskan masalahnya,hanya dengan memberi perhatian kita atau menjadi pendengar yang baik itu juga sangat
membantu meringankan beban orang lain.