Jumat, 12 Februari 2016

The Sound of Silence (Pertapaan St.Maria Rawaseneng, Temanggung 6-8 Februari 2016)

             Diluar hujan deras, didalam taksi aku kedinginan kena paparan AC. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.25 sedangkan aku belum tiba di Jl Arjuna dimana Bus Safari Dharma Raya (OBL) berhenti menjemput penumpang. 20.30 harusnya sudah kumpul semua dan pukul 21.00 bus tersebut langsung meluncur ke Jawa Tengah.

       Solo trip. Pengalaman pertamaku berpergian sendirian. Sudah lama aku mendambakan pergi ke Pertapaan St.Maria Rawaseneng, Temanggung. Sudah berkali-kali juga mengajak teman tapi susah ga pas jadwalnya. Akhirnya nekat pergi sendiri. Waktunya juga pas untuk menyepi, refleksi diri  menyongsong HUT dan memasuki pra paskah :D.

            2 minggu sebelumnya aku sudah booking tempat di Rawaseneng. Dan meminta arahan dari Sby naik apa. Oleh Pak Yosef (yang mengurusi kamar tamu) disuruh naik bus Safari Dharma Raya (OBL) turun garasi dan minta diantar ke Rawaseneng.

             Berhubung Surabaya diguyur hujan deras dan beberapa tempat banjir maka banyak penumpang yang telat kumpul. Sehingga bus baru berangkat pukul 21.46. Bus OBL ini eksekutif jadi kaki bisa diselonjorkan, ada toiletnya walaupun cuma untuk buang air kecil plus ada selimutnya pula. Bus jurusan Surabaya-Temanggung ya setau saya Cuma OBL. Bisa juga kalau mau oper naik bus jurusan Surabaya-Jogjakarta setelah sampai terminal Jogja cari bus arah Magelang, dari terminal Magelang naik bus arah Temanggung.
Bus Safari Dharma Raya


      Jam setengah dua’an tiba dirumah makan daerah Rembang. Setelah itu lanjut dan tiba di Temanggung jam 7an pagi. Sewaktu di bus saya ngobrol dengan ibu sebelah saya. Dia bilang kalau turun garasi ga ada ojek maupun angkutan maka ikuti ibu itu saja naik angkot. Achh senangnya ada orang local jadi ga mungkin saya kesasar. 

           Kami turun di daerah Kowangan,Temanggung dan menunggu angkot warna kuning lewat. Lalu minta turun dipertigaan Maron. Dari situ lanjut naik angkot merah no 03 menuju Rawaseneng. Angkot Rawaseneng akan susah dijumpai jika anak sekolah libur jadi pintar-pintarlah memilih hari jika mau menggunakan angkot ini.  Angkot merah no 03 ini akan berhenti di Dam. Selanjutnya untuk naik ke Pertapaan Rawaseneng harus naik ojek. Angkot tadi sebenarnya juga menawarkan jasanya antar sampai pertapaan dengan biaya 30ribu tapi aku lebih memilih ojek supaya bisa janjian jemput ketika pulang nanti. Selain itu juga lebih murah naik ojek yang Cuma 15ribu. Kecuali aku datang dengan rombongan jelas lebih murah angkot.

       Udaranya segar. Semerbak bau cemara mulai menyelinap memasuki paru-paruku. Saatnya cuci paru-paru. Ojeknya menurunkan aku dipos satpam didepan Museum & toko souvenir Pertapaan. Semua tamu wajib lapor di pos satpam ini untuk menyampaikan tujuannya datang ke Pertapaan. Setelah mengisi buku tamu aku diminta untuk jalan kebawah, dipusat informasi kamar tamu. Dan aku bertemu dengan Pak Yosef yang susah sekali dihubungi walau hanya sekedar booking dan tanya apa bisa mendapat bimbingan rohani dari Romonya.
Museum & Toko Souvenir 


            Aku sebutkan namaku dan asalku dan ternyata namaku tidak ada dijadwalnya. Oh my God mau tidur dimana aku. Padahal jelas-jelas aku dapat balasan SMS dari Pak Yosef jika aku bisa menginap ditanggal 6 & 7 Feb 2016. Tapi untunglah masih ada kamar untukku. Karena katanya akan banyak rombongan yang akan menginap maklum liburan panjang banyak yang ingin mencari keheningan ataupun retreat.
          218 itu nomor kamarku dilantai 2. Kamarnya cukup untuk 2 orang. Ada spring bed atas dan bawah. Ada air hangat pula jadi jangan khawatir ga mandi pagi karena kedinginan.  Saat itu ibadat siang I (Tertia) sedang mulai beberapa menit. Sedangkan ibadat siang II (Sexta) dimulai pukul 12.00. karena masih ada waktu untuk mengikuti ibadat Sexta aku mandi dan merebahkan tubuh sampai ketiduran. Untung sebelumnya aku pasang alarm sehingga tidak ketinggalan Ibadat Sexta.




           Keluar kamar. Jalan sendirian itu terasa ga nyaman. Karena masih setengah jam sebelum ibadat mulai, aku melongok ruang makan oh ternyata sudah disiapkan snack dan ada 1 orang ibu sedang nyantai disitu. Aku pun mampir untuk menikmati snack.
Jadwal Ibadat


         Begitu memasuki kapel. Mataku berkeliaran kemana-mana. Pikirku melayang-layang mencari jawaban atas apa yang telah kulihat. Aneh bagiku melihat tempat duduk Para Rahib,bajunya mereka, kenapa disekat antara Rahib dan umat. Ibadat siang II Cuma sekitar 15 menit isinya membacakan Mazmur dengan nyanyian Gregorian dan ada doa & bacaan singkat. Setalah ibadat lanjut makan siang.
Suasana dalam Kapel


          Masih ada waktu sebelum ibadat siang II (Nona), maka aku jalan-jalan menuju taman doa. Sepi hening. Itu memang yang ditawarkan Pertapaan Rawaseneng, keheningan. Setelah memasuki taman doa disebelah kiri jalan aku menjumpai Patung Bunda Maria menggendong Yesus. Dikanan jalan utama taman doa ada jalan salib yang apik. Aku berjalan terus mengikuti jalan utama. Sampailah dihalaman yang luas. Ada tangga turunan yang dikanannya dipercantik dengan gemricik kolam. Disitulah aku menjumpai bapak yang menjaga kebun. Olehnya aku diberitahu kalau disitu ada air yang sudah diberkati dan banyak orang minum dan cuci muka disitu sakitnya sembuh dan doanya terkabul. Aku pun mencobanya. Segar dan sejuk ditenggorakan rasanya. Akhirnya seharian itu aku mengikuti jadwal ibadat yang sudah ada.
Air suci


Di hari pertama itu aku kenalan dengan 2 ibu dan 1 putranya sekitar usia 20an tahun yang datang dari Jakarta & Jogja sehari sebelum aku. Mereka mengusulkan supaya aku minta untuk diberi bimbingan rohani sebagai bekalku pulang nanti. Mereka datang karena ingin memperkenalkan keheningan ke putranya dan ingin semakin dekat padaNya. Atas saran ibu tadi aku bolak balik ke kantor kamar tamu dan alhasil ga ada yang bisa aku mintai tolong untuk minta bimbingan rohani. Padahal sewaktu booking aku pun juga sudah meminta tapi apa daya ta dibalas juga SMSku. FYI nomor yang kudapat dari internet itu di tlp ga diangkat di sms pun lama balasnya. Katanya itu nomor milik Frater maka dari itu jam untuk buka HP pun juga terbatas tapi ternyata nomor itu dipegang oleh Pak Yosef. Mungkin ia sibuk karena dengar-dengar ia juga kuliah di Jogja jadi riwa riwi. Oia di Rawaseneng ini Para Rahib tidak keluar dari biaranya kecuali ada umat yang membutuhkan untuk bimbingan rohani atau keperluan lain. Jadi jangan dibayangkan berada disitu bisa berbaur dengan para Rahibnya. 

Hari kedua aku mencoba ke kantor kantor kamar tamu  lagi dan bertemu dengan Pak Yatno. Pak Yatno lah yang dapat membantuku memanggil Romo. Tenang dech pikirku. Sejenak aku berdoa Rosario di dalam kapel yang belum ada pengunjungnya. Belum selesai aku berosarioan, Pak Yatno mengahampiriku memberi kabar bahwa Romo Maxi bersedia bertemu denganku pukul 08.30. Gugup. Karena aku ga tau mau ngomong apa nanti sama Romonya. Karena aku datang ke Rawaseneng tidak sedang dilanda masalah ataupun sedang galau.

Pukul 08.30 pun tiba. Aku menantinya. Diajaknya aku keruang semacam ruang tamu dengan  4 kursi dan ditengahnya meja. Masih muda. Ramah. Dan bisa memberi aku tamparan-tamparan dan PR untuk hidupku. Selain itu Romo Maxi juga bercerita sekelumit tentang Pertapaan Rawaseneng. Jika kuceritakan dalam blog ini pasti akan ribuan karakter dech. Beliau juga bilang sayang kenapa ga mulai hari pertama aku dibimbing sehingga ada prosesnya dan berakhir ke peneguhan. Sore pukul 17.00 Rm Maxi ada tugas misa diluar dan belum tahu sampai pukul berapa maka dari itu tak bisa menemuiku lagi. Oke tak apalah aku coba garap sendiri pikirku.
Rm. Maxi saat Misa Novena 


Setelah bimbingan aku mengikuti misa Novena bulanan. Kebetulan di taman doa ada novena yang diadakan tiap bulan selama sembilan bulan nah saat itu novena yang ketiga dan dipimpin oleh Romo dari Temanggung. Para Romo dari Pertapaan sebagai konselebran. Dan aku juga baru tau kalau Romo dari pertapaan itu cuma 4. Lalu lainnya siapa? yang lain Frater. Mereka memang mengabdikan diri menjadi Frater walaupun usia mereka ada yang sangat tua tapi mereka tetap frater bukan Romo.Umat yang mengikuti novena juga lumayan banyak bahkan dari luar kota pun juga ada. 

       Aku menyusuri jalan menuju kandang sapi. Disitu lebih tenang. Lebih sepi. Ada yang unik,sapi-sapi mereka beri nama santo santa agar keturunannya tetap bagus tidak tertukar ketika mengawinkannya. Kegiatan mereka selain berdoa 7x juga bekerja menghidupi kebutuhan mereka sendiri dengan berkerbun dan berternak. Awal mulanya penghasilan mereka dari berkebun kopi dan memerah sapi. Lalu terjadi krisis moneter dan mengalami kerugian sehingga mereka mencoba-coba membuat kue dari keju sebagai tambahan. Sedikit demi sedikit mereka belajar dan  banyak yang suka dengan kue keju tsb akhirnya sekarang nambah usaha membuat susu pasteurisasi. 

       Dari kandang sapi,aku berjalan terus sampai ujung ada sebuah pemakaman. Oh ini yang diceritakan Rm.Maxi ada 17 Rahib yang sudah tiada. Yup cuma 17 sejak Pertapaan ini berdiri, butuh kerahiman ilahi dan perjuangan keras hingga bisa menjaga kesetiaan mereka sampai kembali kepada Bapa. 

Setelah ibadat sore sekitar pukul 18.30 aku keluar dari kapel dan ada orang memanggilku disamping kapel.
“ Mbak Sari nanti saya bisa melanjutkan bimbingannya. Jam 19.00 ya.” kata Rm Maxi yang masih membawa tas ransel usai tugas Misa diluar memberi info padaku.
Oh ternyata Rm. Maxi bisa kembali lebih cepat dari dugaannya. Aku mulai mengingat-ingat PR yang sudah aku refleksikan disiang hari tadi. Dengan mantap aku siap untuk menemui Rm. Maxi. Beliau memberi bimbingan sekaligus peneguhan untuk bekalku kembali ke dunia nyata.

Malam sebelum tidur hatiku merasa sedih meninggalkan tempat itu. Aku sudah merasa nyaman disitu. Keheningan seolah melepaskan aku dari segala hiruk pikuk dunia. Keheningan dapat mengisi jiwa yang gersang dan raga yang mulai rapuh.

Salah kalau orang beranggapan aku menginap di Pertapaan karena ingin masuk biara. Disitu terbuka untuk umum yang merindukan keheningan agar dapat mendengarkan suara hati dan Ilahi. Banyak orang yang kesitu ga hanya orang tua tapi muda mudi juga. 

Perjalananku berkunjung ke Pertapaan seolah memberi semangat untuk dapat melanjutkan misiku didunia. Dapat mengenal siapa aku. Ada apa dengan diriku. Dan mengapa aku seperti ini. Peziarahan di dunia ini penuh liku dan pasti semua orang dapat menyelesaikan perjalanannya. Tak perlu merasa tidak sanggup karena semua sudah diperhitungkan masak-masak oleh si Empunya hidup. Selesaikan apa yang jadi tanggunganmu. Berhenti. Mutung  tak ada gunanya lanjutkan dan jangan menyerah.

Pertapaan St.Maria,Rawaseneng,Temanggung suatu saat aku kan kembali :)


Rincian biaya:

   1. Tiket bus Safari Dharma Raya (OBL) Rp 135.000 x 2 = Rp 270.000
   2. Angkot kuning dari Kowangan Rp 3.000
   3. Angkot merah no.3 dari pertigaan Maron menuju Rawaseneng Rp 5.000
   4. Ojek dari Dam ke Pertapaan Rp 15.000
   5. Penginapan di Rawaseneng per malam Rp 150.000
   6. Ojek dari Rawaseneng ke garasi OBL Rp 35.000

Rute dari Surabaya menuju Pertapaan St. Maria Rawaseneng, Temanggung:

Rute I:

Berangkat    ==> Bus OBL Garasi di jl Arjuna / terminal Bungurasih – Temanggung  di garasi OBL (minta antar ke Rawaseneng dengan kasi tip sukarela)
Pulang          ==> Ojek dari Rawaseneng ke garasi bus OBL di jalan Dewi Sartika (Ojeknya panggil dulu via phone)

Rute II:

Berangkat     ==> Bus OBL garasi di Jl. Arjuna / Terminal Bungurasih – Temanggung turun di Kowangan naik angkot kuning – Turun pertigaan Maron naik angkot Merah no.03 arah Rawaseneng – turun di Dam oper ojek.
Pulang      ==> Ojek dari Rawaseneng ke Terminal Maron – naik bus pintu 2 arah ke Magelang – turun terminal Magelang oper bus kearah Jogja – turun terminal Giwangan- dari Terminal Giwangan naik bus arah Surabaya (bisa Eka, Mira, Sugeng Rahayu dll)

Bus Safari Dharma Raya
Surabaya
Jl. Raya Arjuna No. 35 Telp. 5461667 , 5481922 Fax. 5349490
Loket Terminal Bungur Asih. Telp. 8532348, 8543325
Dari Arjuna berangkat pukul 21.00, dari Bungurasih dijemput pukul 19.00
     Temanggung     
           Jl. Diponegoro No. 25     (0293) 491195 è Tiket aja
           Jl. Dewi Sartika no.39 (0293) 492828 è Kumpul
Kumpul pukul 16.30 berangkat pukul 17.00
Beli tiket via Tlp bayar saat berangkat asal positif, batal harus info
     Yogyakarta         
           Jl. P. Mangkubumi No. 70 (0274) 581880                (0274) 522234   
Jl. Raya Janti No. 25 Kompleks Pasar Angkasa      (0274) 7416708                 
Terminal Jombor Yogyakarta       (0274) 868838   
Berangkat dari Mangkubumi jam 19.00, dari Janti 19.30


Info nomor Telephon:

1. Kamar tamu Rawaseneng (Pak Yosef) : 0813-2888-2028
     2. Toko Souvenir (Bu Nanik): 0812-8961-6962
    Bisa pesan kastengel, roti, kopi buatan Rahib Rawaseneng. Dikirim via paket dari bus           OBL.
3. Ojek sekitar Rawaseneng (Pak Yun) : 0821-3734-2156
4. Ojek sekitar Jogja : 0853-3046-1614

Sebelum pulang dibawah patung Bunda Maria, Taman Doa

Suster pasteurisasi


Makam 17 Rahib



               


                

Kamis, 11 Februari 2016

Kasih yang Menyempurnakan (Perhentianku di SLB/G Helen Keller, Jogja 8 Feb 2016)

Terik matahari tak menyurutkan niatku tuk melangkahkan kaki di kota Gudeg. Sudah sekitar 1,5 jam’an aku duduk didalam bus dari Magelang menuju Jogja. Pengap. Panas. Maklum itu bus ekonomi tanpa AC.
“Jombor…Jombor…Terminal..” teriak kernet bus mengagetkanku.
Sontak aku langsung berkata pada pak kernetnya,
“Pelemgurih ya pak jangan lupa”
Menurut arahan dari temanku Suster Veronika, PMY, jika sudah melewati Terminal Jombor berarti sudah mendekati tempat dimana aku harus turun yaitu Pelemgurih. 

Beberapa menit kemudian bus berhenti di Pelemgurih. Mataku mulai berkeliaran mencari becak. Baru 2-3 langkah tiba-tiba ada seorang bapak meneriakiku dari dalam warung.
"Mbak..ojek?”
Aku mendekatinya dan menanyakan tarif ojek sesuai tujuanku. Setelah sepakat kami langsung meluncur mencari alamat yang aku tuju. Eh ternyata bapak ojeknya ga hafal jalan jadi kami putar-putar dan tanya ke tukang parkir. Dalam hatiku kalau tidak tau jalan kenapa ngojek pak. Berulang kali bapak tersebut meminta maaf karena tidak hafal jalan. Awalnya aku dongkol tapi itu tak lama karena teringat kalau aku pun juga susah untuk menghafal jalan.

Sesampai ditempat tujuan aku menunggu Sr.Veronika,PMY di teras Sekolah Luar Biasa (SLB). Aku baru sadar kalau yang kutuju adalah SLB beserta asramanya. Kukira Sr.Vero itu tinggalnya di sebuah susteran biasa tanpa jadi satu dengan SLB.

Suster Veronika,PMY adalah buah perkenalanku di acara Temu Kaum Muda Vinsensian (TKMV) 2 tahun yang lalu. Kebetulan aku menjadi sie keskretariatan dan menangani registrasi. Sehingga tugasku mengontak dan meminta konfirmasi dari masing-masing peserta untuk bisa atau tidaknya hadir dalam acara tersebut. Komunikasi kami tidak berhenti di acara itu. Beberapa kali kami masih komunikasi menanyakan kabar. Hingga hari itu kebetulan posisiku di Jawa Tengah sehingga mengajaknya untuk ketemuan.

Ia mengajakku masuk, memperkenalkan beberapa suster yang lain dan mempersilahkan aku untuk makan. Setelah itu kami ngobrol panjang lebar. Obrolan kami terhenti karena ada anak usia 9 tahun teriak-teriak tidak jelas ngomongnya sambil menangis.  Ternyata anak itu rewel karena sedang menstruasi. Itu adalah pengalaman pertamanya merasakan menstruasi sehingga merasa tidak nyaman tapi tidak bisa menyampaikannya dengan jelas. Ia tak bisa bicara dan mendengar dengan baik. Kata Suster ibunya berulang kali sudah di telephone untuk menengok anaknya tapi belum bisa karena sibuk.

Melihat gadis itu membuat aku penasaran dengan anak asrama yang lain. Aku pun meminta ijin untuk mengunjungi asrama SLB. Berhubung masih jamnya tidur maka baru bisa mengunjungi mereka pukul 16.00.  Sr. Vero mengajak aku untuk merebahkan diri sesaat. Lumayan bisa meluruskan punggung sambil menunggu anak-anak bangun.

Pukul 15.45 aku sudah bergegas tuk mandi dan siap bertemu dengan anak-anak. Kuturuni tangga dari lantai 3 kamar yang kuhuni sesaat. Sampai dilantai dasar ada beberapa ruang yang kulewati sampai ke asrama SLB. Dari ruang makan asrama sudah terdengar suara gaduh anak-anak. Begitu memasuki ruang sumber suara itu aku hanya berdiri diam terpaku.
“ Mbak Sari takut ya?” celetuk Sr. Vero
Iya ada rasa takut dan tidak tahu mau ngapain melihat pemandangan yang berbeda dari biasanya ini. Ada rasa waspada jika tiba-tiba anak-anak itu menyerangku. Ada 10 anak dan 2 ibu-ibu pendamping yang ada di ruangan sebesar kira-kira 6m x 6m.  Aku duduk di tikar mendekati anak perempuan yang tertunduk diam sesekali ia teriak. Kulitnya putih keturunan Tionghoa. Ia memegang tanganku dan memberi isyarat yang kata Suster itu artinya kue. Mungkin dia meminta kue dariku. Lalu ibu pendamping memanggilnya menawari permen.
“ Mau permen ga?ayo berdiri diambil” Aku mengulang beberapa kali tawaran ibu itu supaya ia mau berdiri mengambil permen diruang makan.
Dia mengajakku untuk mengambil permen dengan menyeret tanganku. Tapi kata ibu itu biarkan sendirian supaya dia menghafal ruangan. Dia low vision,tidak bisa berbicara dengan jelas tapi untuk mendengar dia masih bisa walaupun harus diulang-ulang. Orang tuanya sudah membawanya berobat ke Jakarta bahkan sampai Singapore. Oh dia anak orang berada pikirku.

Di ujung ruangan itu ada anak laki-laki berdiri sambil tanganya merogoh rak buku. Ditanya pendampingnya apa mau baca, ia pun mengangguk. Si ibu itu mengambilkan beberapa lembar bagian dari majalah untuknya. Tampak wajahnya sumringah. Buku itu diremas-remas dan dipukulkan kemukanya. Sepertinya dia juga low vision jadi baca pun juga kesulitan. Memberikan beberapa lembar majalah adalah cara menghiburnya.

Ada lagi bocah laki-laki yang kesulitan berbicara mendorong-dorong rak kayu / bufet. Lalu naik-naik ke jendela mainan kipas angin. Dia gelisah karena papanya yang janji jemput jam 16.00 tak kunjung datang. Padahal dia sudah siap jauh sebelum pukul 16.00 dengan sepatu ket dan jaket merah beserta tudung kepalanya. Keren bocah itu.

Tiba-tiba ada anak laki-laki usia sekitar 5 tahunan mencium pipiku. Aku kaget dan ibu-ibu itu tertawa sambil memperingatkan anak itu kalau ga boleh cium-cium kayak gitu. Lalu ibu itu menjelaskan kalau dia suka dengan gambar. Dan bajuku ada gambar bunganya maka dari itu dia menyerangku dengan ciuman.

Tidak berhenti diserang ciuman saja. Anak gadis berusia 5 tahunan menyerangku dengan pelukan. Dia mendatangiku lalu duduk dipangkuanku dan mendekapku. Mungkin dia mencari kenyamanan. Untung aku sudah mandi sehingga tak membuat anak itu pingsan.

Berhubung keberangkatan bus yang sudah aku pesan tiketnya beberapa hari yang lalu berangkat pukul 19.00, aku keluar asrama makan dulu  bersama Sr.Vero.  Ketika hendak keluar melewati meja makan asrama ada gadis cilik yang ketika kudatang tadi hampir rewel usai bangun tidur. Ternyata dia anteng duduk dimeja makan sambil makan kacang kulit. Lucunya dia mengupas kacang tak langsung dimakan. Biji kacang yang telah dia kupas dikumpulkan dalam lepek. Menggemaskan melihatnya.

Setelah makan aku kembali ke asrama sambil berpamitan. Tapi sayang para suster sedang ada doa. Sehingga aku hanya menuliskan pesan terimakasihku dipapan tulis. Tak lupa aku berpamitan dengan ibu-ibu pendamping asrama yang sedang repot menemani anak-anak makan malam. Sambil menunggu ojek menjemputku, aku dan Sr.Vero duduk di ayunan. Ada keluarga datang menjemput. Yup mereka keluarga yang dinanti bocah laki-laki keren yang gelisah menanti  jemputan tadi. Kakak perempuannya berambut panjang dan cantik. Adik perempuannya juga cantik. Dia pun juga keren walaupun berkebutuhan khusus.

Di SLB ini para suster PMY, ibu-ibu pendamping dan para guru mendidik mereka agar mereka bisa mandiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena kebutuhan tiap-tiap anak penyandang ketunaan itu berbeda-beda. Mereka mendidik dengan kasih sehingga anak-anak merasa nyaman dan tidak terasing dengan kekurangan mereka.

Berbeda dengan sanggar anak jalanan / pinggiran yang biasa aku dampingi di Surabaya. Di sanggar, anak-anak kekurangan materi. Kebutuhan sandang,pangan, papan mereka tidak terpenuhi dengan baik. Di SLB ini keluarga mereka banyak dari keluarga yang berada walaupun ada juga yang kurang mampu. Orang tua mereka sanggup dan mengusahakan apa yang mereka minta dan butuhkan. Tapi ketunaan dan berkebutuhan khusus itu yang membuat mereka terbatas untuk bertindak dan mengeksplore kemampuan mereka.

Perhentianku dijogja yang hanya beberapa jam ini membuat aku makin bersyukur dengan keadaanku yang tak kurang satu apapun bisa pergi kesana kemari. Berteriak-teriak ataupun berbisik-bisik orang akan paham dengan maksudku. Sedangkan mereka untuk mengungkapkan rasa saja susah. Orang tua mereka bisa dikatakan berduit bisa mengobatkan ke Singapore dll tapi apa daya uang tak bisa menyempurnakan kondisi mereka. Hanya kasih dan ketlatenan yang membuat mereka sempurna. Itulah visi misi dari para suster PMY ini melayani yang lemah, kecil dan tersingkir.
Duo Veronika