Senin, 16 Juni 2014

Saling Memahami Ibarat Berbicara di Telephone

"Apa?ga kedengaran suaramu..." Gusar Gita yang sedang mengangkat telephone sambil membereskan kertas-kertas di atas meja kerjanya dengan terburu-buru.
"Hmm telingamu di bersihin dulu napa.ini volume udah lumayan kalee"
"Bukan masalah bersih ato ga telingaku.tapi suaramu itu amat kecil dan jauh. Mau ngobrol apa sich udah tau ini masih jam kerja."
"Oke2 jadi begini ntar sore aku jemput adek setelah itu ke supermarket dan mengantar adek ke tempat les,nah tolong kamu jemput adek usai les ya.aku akan jemput mama arisan" Kata Juni dengan meloudspeaker telephone karena ia sedang asig memberi warna2 pada kukunya alias kutekan.
"Ok aku jemput mama usai arisan brati ya."
"Hadehhhh kenapa ga paham2 sich,kamu jemput..." Tiba2 tut..tut..tut..suara telephone terputus..

Dalam cuplikan percakapan via telephone itu tadi si Juni dengan santai menjawab obrolan si Gita. Padahal posisi Gita masih di tempat kerja. Dan pastinya masih sibuk dengan kerjaan. Malahan Juni meloudspeaker telephone karena tangannya asig kutekan sehingga tidak bisa pegang telephone. Acap kali kita menomorsatukan kepentingan pribadi tanpa melihat kondisi lawan. Juni amat santai menjawab telephone dengan suara pelan karena baginya volume seperti itu sudah dapat ia tangkap dengan jelas. Tanpa ia berpikir bagamaina kondisi lawan bicaranya di seberang sana. Andaikan Juni memahami kondisi Gita,di jam kerja pasti sibuk apa ga lebih baik kirim pesan singkat (sms). Atau dia berhenti sejenak mewarnai kukunya untuk fokus bicara kepada Gita sehingga telephone tanpa di loudspeaker. Mungkin itu akan lebih jelas dan terhindar dari salah paham dan emosi.

Dalam hidup itu hendaknya saling. Saling melayani, saling memberi, saling menghargai, saling memaklumi dan saling-saling yang lain. Seperti sedang bicara di telephone, pastinya harus menyesuaikan suara agar lawan bicara di seberang sana mendengar dan paham suara kita. Ga bisa kita egois karena diciptakan dan merasa suara saya kecil dan lembut maka saya berbicara pelan karena bagi saya dengan volume pelan saya masih mendengar suara saya apalagi meminta si lawan memaklumi kekurangan kita. Bayangkan jika saya tetap egois berbicara di telephone dengan suara pelan,apa yang akan terjadi dengan lawan bicara saya di seberang sana?pastinya seperti contoh di atas. Info yang di terima salah,lawan bicara marah,rencana ga berjalan dengan lancar. Dalam berelasi dengan siapa saja harusnya memperhatikan nasib lawan kita. Gampangannya posisikan diri kita di posisi lawan. Apa yang terjadi?bagaimana perasaan mereka?dengan begitu kita akan bisa belajar bagaimana memahami satu sama lain. Susah dijalani?? Yuk belajar bareng untuk sesuatu yang lebih baik…

Jumat, 06 Juni 2014

Cinta dan Seks bagi Seorang Pelacur (Eleven Minutes by Paulo Coelho)

Tiap gadis pasti berharap akan datangnya Cinta. Impian dan imajinasi akan sosok pria bak pangeran yang kelak akan menjemput gadisnya untuk dapat hidup bersama. Yah itu wajar jika sebagian gadis mempunyai harapan atau impian seperti itu. Begitupula kisah Maria dalam Eleven Minutes karya Paulo Coelho. Bermula dari cinta pertama Maria yang terpendam, tak sempat ia sampaikan pada usia sekitar 11 tahun membuat dia menyesal dan meninggalkan kenangan dalam relung jiwanya. Sampai ia beranjak dewasa dan memutuskan untuk pergi keluar dari tanah kelahirannya Brasil ke Swiss untuk mencari sensasi yang beda dalam karirnya dan berharap suatu saat ada seorang pria kaya yang melamarnya. Kepergiannya ke Swiss ternyata tak semulus yang ia pikirkan,keadaan malah menuntun dia menjadi seorang pelacur di tempat yang asing. Dengan menjadi pelacur dia semakin jauh dari cinta yang ia harapkan, yang ada malah dia harus melebur diri dan berusaha menemukan cara untuk menikmati seks. Uang dengan mudah ia raup tapi kepuasan seks untuk dirinya sendiri sama sekali tak ia dapatkan, sampai dia bertemu dengan tamu istimewanya yang mengajarkan cara mencapai nikmatnya seks,Maria benar-benar dapat menikmati apa yang disebut seks di dalam kesakitan dan penderitaan atau bisa disebut masokis.

Ia berusaha untuk tak jatuh cinta dengan para tamunya bahkan dia hampir tak mempercayai jika cinta murni dan tulus akan ia jumpai. Sampai suatu saat dia menjumpai Ralf Hart yang mengubah hidupnya, Ralf Hart dapat menyentuh hati Maria,tapi Maria mencegah hatinya agar tak hanyut dalam cinta ini. Semakin dia menahan untuk tidak jatuh cinta semakin membaralah cintanya. Yang ada di pikiran Maria,ia tak ingin mencintai seseorang yang akan membuat orang itu merasa terkekang,merasa dalam sangkar maka dia pun membebaskan Ralf Hart agar tak terkungkung dalam ikatan cinta. Tapi ternyata Ralf Hart memberikan Cintanya dengan tulus kepada Maria dan ia mengajarkan bahwa cinta tumbuh bukanlah dari hal seksual semata.

Manakah yang Maria pilih, orang yang dapat mengajarkan bagaimana nikmatnya seks atau pria yang mengajarkan apa itu cinta sejati atau malah dia akan kembali ke tanah kelahirannya? Paulo mengemas runtutan cerita perjalanan Maria seorang pelacur ini dengan apik, bahkan hal-hal yang dianggap tabu seperti seks ia gambarkan dengan vulgar. Paulo ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa seks ga hanya soal nafsu tetapi soal kesakralan. Menariknya lagi di setiap akhir bab,Maria menuliskan refleksinya selama seharian itu kedalam buku hariannya. Sehingga pembaca bisa merasakan apa yang di alami dan di rasakan Maria sebenarnya bukan hanya dari sudut pandang penulis saja.
“Tiga ratus lima puluh franc swiss untuk semalam?” | “Sebenarnya hanya empat puluh lima menit, dan kalau menghitung waktu untuk membuka pakaian, berpura-pura bersikap manis atau sayang, mengobrol sedikit, lalu berpakaian kembali, waktu yang dihabiskan untuk berhubungan intim hanya sekitar sebelas menit.” – halaman 115.
Kutipan tersebut jelas mengatakan bahwa waktu tersebut yang menginspirasi Paulo Coelho untuk menjadikan “Sebelas Menit” sebagai judul novel ini. Waktu rata-rata di mana para penikmat seks melakukan indahnya persetubuhan.
"Aku bukannya membelikan sesuatu yang kau inginkan,sebaliknya kuberikan sesuatu yang benar-benar milikku."
Bagiku kutipan tersebut menarik karena memberi pesan yang dalam. Jika kita memberikan dengan sukarela dan tulus ikhlas sebagian kecil dari hidup kita sama dengan memberi penghargaan atau suatu kepercayaan kepada orang tersebut untuk memiliki sebagian kecil dari kita.

Penasaran ingin mengetahui detail ceritanya? Silahkan baca aja langsung hehehehe  

Selasa, 03 Juni 2014

Ketika Mentari Kembali ke Peraduannya

Sang mentari perlahan kembali ke peraduaannya. Suasana malam yang tak biasa aku jumpai di kotaku Surabaya. Gelap, listrik belum masuk di dusun Sungai Dungan,Kalimantan Barat ini. Kami siap bergegas menuju hilir dengan lampu senter sebagai penerang jalan untuk berdoa Rosario bersama. Berjalan harus hati-hati karena kalau tidak akan menginjak ranjau dari kotoran sapi ataupun babi. Sesekali aku menyorotkan senterku ke sekeliling,wah ternyata sapi- sapi juga bergerombol sedang istirahat. Sapi ataupun babi di dusun ini di biarkan bekeliaran begitu aja tanpa di buatkan kandang. Saat itu ada 1 rumah tepat di sebelah kanan dalam perjalanan menunju hilir yang terang ternyata mereka menggunakan diesel sebagai pembangkit listrik.

Aku tak bisa melihat dengan jelas bangunan sekelilingku. Jika senter kuarahkan agak tinggi ke sekeliling dan mengenai mata orang lain takut membuat silau, jadi senter hanya aku buat untuk menerangi langkahku beberapa meter dari tubuh dengan sudut jatuh ke bawah. Dalam hati mana ya rumah yang akan di tuju. Nah, ketika langkah teman-teman mulai terhenti, pelan-pelan kami memasuki sebuah rumah yang Nampak dari pintu yang terbuka seperti ada pelita yang menerangi. Di dalam ternyata sudah berkumpul anak-anak duduk melingkar bersandar dinding rumah yang terbuat dari kayu. Setelah masuk melewati pintu utama aku duduk di sebelah kiri tak jauh dari pintu tersebut. Di dalam rumah ini tak perlu senter karena ada beberapa pelita tersebar di tengah-tengah kami yang sedang duduk melingkar. Pelita itu terbuat dari kaleng atau botol kaca bekas yang di beri sumbu dan di isi dengan bahan bakar.

Selang beberapa menit sejak kedatangan kami, seorang anak mulai memimpin doa Rosario tersebut. Butir demi butir Rosario telah kami doakan bergilir berlawanan dengan arah jarum jam. Yang hadir dalam Doa Rosario tersebut sekitar 25 orang mayoritas anak-anak dan hanya 7 orang dewasa dari rombonganku termasuk Ibu yang tinggal di rumah tsb. Sehingga ketika Doa tersebut di doakan bersama-sama yang lebih menonjol adalah suara anak-anak. Suara mereka bagaikan malaikat yang sedang bernyanyi. Apalagi suasana remang-remang menambah kekhusukan doa tersebut. Dari awal doa,nyanyian dan hingga pada akhir, anak-anaklah yang memimpin,mungkin dari awal sudah ada pembagian tugas sehingga waktu doa mereka langsung melaksanakan tugasnya masing-masing.

Usai doa, ibu yang empunya rumah mengeluarkan kudapan untuk kami yang hadir. Kudapan itu berupa ketan yang di beri parutan kelapa dan di letakkan di atas piring. Kami menikmati kudapan tersebut 1 piring untuk beberapa orang karena yang tersedia hanya beberapa piring. Tak lama kemudian bapak yang sekaligus kepala dusun memasuki rumah tersebut dan membawakan kopi dalam 1 teko dan beberapa gelas untuk rombongan kami. Dalam hati oh my God kopi lagi. Dari pagi sampai malam itu mungkin aku sudah 3 atau 4 kali minum kopi. Sedangkan biasanya sekali minum kopi bisa membuat mataku melek sepanjang hari tidak hanya itu kadang lambungku juga bermasalah kalau kebanyakan. Maka dengan berat hati aku tak minum kopi yang bapak itu suguhkan. Eitss menolak pemberian di sini ga hanya sekedar menolak tapi harus posek-posek kalau ga gitu bisa kena mali. Posek-posek itu dengan mencelupkan atau menyentuh makanan yang di suguhkan ke jari setelah itu menjilatnya. Kalau aku bilang sich mencicipi. Sedangkan mali itu sendiri artinya pantangan kalau dalam jawa hampir mirip dengan pamali. Menurutku hal itu bertujuan untuk menghargai orang yang sudah menyediakan untuk kita.

Semalam di dusun Sungai Dungan ini membuatku merasa nyaman hidup jauh dari sarana dan prasarana modern. Tanpa ada listrik mereka masih bisa berdoa dengan khusuk,belajar dalam remang-remang, tidak autis dengan telephone genggam. Ga ada kemacetan yang ada malah mereka bisa bermain puas dengan lahan yang amat berlimpah ruah.
Menyantap Kudapan Usai Doa Rosario