“Aku
sudah ada di depan perumahan.”
“Oke
aku akan cari kamu”
Panggilan
dari telephone seluler berakhir. Kulihat saat itu waktu di HP menunjukkan pukul
18.40. Wuahhh total 1 jam 20 menit perjalananku dari kantor ke TKP. Lesu dan
lunglai rasanya badan ini dihajar oleh kemacetan jalan. Rencana saya hanya diam
dan mengamati mereka saja dulu daripada tidak fokus karena kelamaan dijalan.
Kami
memarkir sepeda motor di sebelah tenda. Mas Wisnu, kawan yang mengajakku datang
ketempat ini, berjalan di depanku dan masuk ke dalam tenda. Ya mau ga mau saya
pun mengikutinya. Masuk, menyalami beberapa ibu-ibu di dalam tenda yang memakai
baju seragam merah hitam. Ada belasan ibu-ibu duduk di dalam tenda yang luasnya
sekitar 5 x 1.5 meteran. Tenda tersebut berdiri di depan pagar sebuah pabrik
sepatu dan sisi lainnya adalah jalan raya. Saya duduk dan ibu di depan saya
menyuguhkan air mineral gelas beserta gorengan.
“Sudah
berapa lama bu di tenda ini?”
“Satu
minggu mbak.” Jawab ibu di sebelah kiriku.
Ibu-ibu
ini sejak seminggu yang lalu bergantian berada di tenda perjuangan. Mereka
adalah buruh pabrik sepatu yang sedang memperjuangkan haknya agar memperoleh
pesangon yang layak. Memang kebanyakan ibu-ibu, buruh pabrik yang laki-laki
hanya sedikit. Kebayakan dari mereka pun janda diatas 40 tahunan. Bahkan ada dari mereka telah mengabdikan diri selama 35 tahun’nan. Pesangon yang
diberikan sangatlah tak layak dilihat dari masa kerja mereka.
Untuk yang 35 tahun masa kerja mendapat 16 juta lalu 25 tahun mendapat 15 juta
sedangkan 20 tahun kebawah hanya 12 juta. Gaji yang mereka terima pun jauh dari
rata-rata. Mulai yang baru masuk hingga yang sudah 35 tahun bekerja gajinya
sama yaitu Rp 2,400,000 itupun belum dipotong BPJS.
“ Dapat
gaji jauh dibawah UMR saja kami wes nriman ga banyak protes lho mbak. Tapi koq
ya di PHK pun dapat pesangonnya sak welase.”
Tak sedikit
dari warga datang memberikan air mineral, snack bahkan nasi bungkus untuk
menyemangati mereka. Para buruh dari pabrik lain juga menunjukkan solidaritas
dengan datang ke tenda perjuangan ini. Di tenda tersebut juga ada kompor dan panci
katanya untuk membuat kopi atau mie instan bagi para buruh yang kedapatan shift
malam.
Pabrik
sepatu ini akan relokasi ke Jombang. Para buruh diminta untuk ikut ke Jombang
atau kena PHK dengan pesangon 12-16 juta. Kalau ke Jombang jelas mereka
keberatan apalagi mereka sudah tua dan keluarga juga menetap disini. Belum pula
kalau gaji mereka akan disamakan dengan UMK Jombang malah makin sedikit
penghasilan mereka.
Inilah
realita kehidupan yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin jaya. Pemilik
modal setelah memeras tenaga para buruh, produksinya meningkat sehingga bisa
membuka lahan baru. Mereka membuka lahan baru di daerah yang upah penduduknya
murah. Sedangkan para buruh yang ikut babat alas tak dihargai jasanya dengan
layak. Pernahkah mereka memikirkan nasib buruh setelah di PHK? Bagaimana nasib
janda yang pengangguran? Dulu tanpa buruh yang setia apa bisa membuka lahan
baru? Achhh itu semua ga penting. Yang penting produksi terus berjalan dan
pemasaran harus digenjot supaya hasil makin melimpah.