Kamis, 16 Juni 2016

Pindah Tidur di puncak Panderman 2045 mdpl (3-4 Juni 2016)

5 jam motoran menerjang kemacetan dari Surabaya ke Batu akhirnya selesai juga. Di parkiran wisata Panderman, Desa Pesanggrahan kami berdelapan (6 lelaki 2 perempuan) menitipkan 6 motor kami. Pukul 12.15 dini hari setelah menyelesaikan perijinan  mendaki Gunung Panderman di Pos 1, kami mulai melangkahkan kaki. Cukup membayar Rp 7.000 per orang untuk restribusinya. Jalanan masih beraspal dan lama kelaman mulai pavingan. Setengah jam berjalan dari pos 1 kami menemui sumber air. Dan disitulah sumber air terakhir yang kami temui sampai menuju puncak. Jadi cek dan isi persediaan air ya. Perjalanan berlanjut sampai menemukan pertigaan. Jika ke kanan menuju pendakian Gunung Buthak sedangkan kami mengambil jalur kiri menuju Panderman. Di Panderman petunjuk jalannya jelas dan terawat jadi jangan khawatir kesasar hehehe. 

Pukul 01.50 kami tiba di Latar Ombo. Lahan luas dan datar yang cocok untuk mendirikan tenda. Tapi niat kami ingin mendirikan tenda di puncak jadi disini sekedar istirahat sebentar membuka bekal snack untuk menambah stamina. Mulai dari sini kerlap kerlip kota Batu Nampak indah mengiringi perjalanan kami.
Latar Ombo 1600mdpl

Perjalanan kami lanjutkan sampai tiba di Watu Gede pukul 02.50. Kami sempat terkecoh 2x karena menemukan bongkahan batu besar-besar yang kami kira Watu Gede. Dinamakan Watu Gede karena di lahan luas ini terdapat batu-batu besar dan anginnya benar-benar kencang. Nah setelah dari Watu Gede inilah tantangan baru akan dimulai. Tanjakan demi tanjakan menguras tenaga akan sering dijumpai. Awalnya saya anggap Panderman adalah gunung yang pendek puncaknya dengan pendakian santai. Tapi ternyata selama 1,5 jam kami bermain-main dengan tanjakan-tanjakan tersebut.

Watu Gede 1730mdpl


Pukul 04.30 kami tiba di puncak. Mentari pun mulai menyapa kami. Kami lantas mendirikan tenda, ada yang langsung menyantap bekal nasi bungkus, dan ada pula yang menyalakan portable kompor untuk segera membuat minuman hangat. Kondisi kami sudah banyak yang drop. Ketika tenda berhasil didirikan bersegeralah kami masuk tenda untuk menghangatkan diri. Lelah dan dingin yang tak bisa kami bendung sehingga melewatkan momen sunrise. 
“Ga sunrise2an penting pindah turu nang puncak”
begitu celoteh teman-teman karena saking capeknya menempuh perjalanan panjang mulai macet 5 jam bermotoran dan langsung mendaki 4 jam 15 menit.
Full team




Sebelum masuk tenda, kami makan nasi bungkus  tapi beberapa dari kami menyisihkan nasi untuk sarapan ketika bangun tidur. Dengan santai aku mencantolkan bungkusan nasiku di dahan pohon depan tenda. Saat sudah di dalam tenda teman-teman pada ribut diluar. Ternyata monyet-monyet mendatangi area tenda kami dan luputlah nasi-nasi yang ada diluar tenda. Jadi jika sudah sampai di puncak segera amankan segala bentuk benda yang bisa diambil oleh si monyet :D. Diatas puncak pasti akan menemukan banyak monyet. Bisa dibilang puncak bedhes :D

Mengendap2


Pukul 08.30 aku mulai memberanikan diri keluar tenda menembus dinginnya udara. Wow pemandangan sekitar puncak emang aduhai. Sayang sekali saat mentari muncul tak bisa menikmatinya. Lalu aku menghampiri teman yang ada di tenda satunya. Mereka sedang memindahkan tenda dikarenakan puncak Basundara akan digunakan oleh 270an pasukan doreng-doreng untuk ceremony.



Setelah puas menikmati karyaNya dan mengabadikan foto si monyet serta tak ketinggalan beberapa kali narsis, kami mulai berkemas. Tepat pukul 12.30 pm kami mulai menuruni Gunung Panderman dengan puncaknya Basundara 2045 mdpl. Perjalanan ternyata lebih susah saat turun. Turunan curam dan beberapa kali harus merangkak dan ngesot. Dengkul serasa bergetar. Dan jempol dan jari kaki yang lain sudah tak bisa diajak kompromi rasanya. Sepatuku baru dan terasa atos dipakai alhasil jalan seperti nenek tua dengan tongkat, jalan pelan-pelan sambil meringis menahan sakitnya kaki. Hujan pun menambah deritaku untuk menuruni gunung yang tinggal 15 menitan tiba di warung dekat sumber air. Jalanan makin licin. Langkah kaki makin pendek.  Buset dah komat kamit mohon kekuatan kaki. Pukul 16.00 tepat kami tiba di warung. Langsung copot sepatu dan menyeruput teh hangat. Wah sedaappp…

Setelah istirahat sejenak melepas penat saatnya melanjutkan touring menuju Surabaya. Kami harus menantang ngantuk supaya enyah karena perjalanan kami masih jauh. Beberapa kali aku dibonceng dan tertidur begitu pula Agus yang bonceng aku juga berhenti untuk mengebulkan asap rokoknya guna mengusir ngantuk.


Pilgrimage dari Surabaya menuju gunung Panderman dan kembali lagi ke Surabaya telah usai. Saatnya kembali ke rutinitas sehari-hari dengan harapan tubuh makin sehat dan  jiwa makin semangat.

NB: Foto diambil saat perjalanan turun. 

Kamis, 02 Juni 2016

Mau ditawar lagi???

Ketika menanti jemputan yang tak kunjung datang, mata tiba-tiba terfokus kearah becak dengan beraneka topi yang berhenti disamping RSAL atau didepan Royal Plaza. Secara keseluruhan tidak ada yang istimewa sebenarnya tapi tulisan “TOPI 5.000” membuatku penasaran. Dari jauh aku amati dan sesekali aku potret.

Sepasang perempuan dan laki-laki paruh baya memarkir motornya dan mulai memilih topi yang mereka inginkan.Dalam hati berfikir yakin kah bapak itu menjual topinya seharga Rp 5.000? ach mungkin hanya tulisannya saja 5.000 tapi kenyataannya pasti lebih dari itu.

Lalu aku mencoba mendekati bapak penjual topi dan aku mulai ikutan melihat-lihat topi tersebut.
“ Pak yang ini berapa” sambil menunjukkan topi rimba warna maroon.
“Lima ribu mbak. Silahkan dilihat-lihat dulu. Banyak warnanya.”
“ semua lima ribu pak?”
“iya semua 5.000 kecuali yang ada didalam kotak.” Sambil menunjuk kotak yang isinya kopiah.



Bapak penjual topi ini aslinya Jember, ke Surabaya merantau dengan berjualan topi keliling kampung. Barang dagangannya Ia kulak dari Mojokerto. Katanya bisa murah karena itu terbuat dari kain perca. Sekilas memang rapi jahitannya tapi jika dibalik topinya memang terdiri dari macam-macam warna dan kain yang berbeda.




Beberapa hari setelah perjumpaanku dengan bapak itu aku mencoba tanya ke remaja Sanggar Merah Merdeka apakah mereka mengenali bapak penjual topi tsb. Ternyata beberapa dari mereka sering melihat bapak itu menjajakan dagangannya disekitar kampung Tales. Bahkan beliau juga sering bantu Adzan dan membersihkan masjid.

Bapak ini tak hanya menjual topi tapi juga slayer, kopiah, tasbih, cermin yang rata-rata dijual Rp 5.000. dengan harga segitu mau ditawar berapa lagi?Rp 2.500?atau lima ribu dapat 3? Buat sebagian orang termasuk saya, menawar adalah hal wajib jika berbelanja di pasar tradisional atau PKL. Menawar menghindarkan kita dari kemahalan dalam berbelanja dan bisa hemat dalam pengeluaran. Apalagi kalau di pasar wisata kadang pedagang ugal-ugalan memberi harga dagangan mereka.

Namun kembali lagi jika di dalam mall pernah kah kita menawar harga barang?pasti jawabnya ga pernah, iya kan? Kita sadar harga di mall itu pasti lebih mahal tapi dengan santai kita memilih dan langsung membaya ke kasir. Pertimbangan kita barang di mall lebih berkualitas.  Yup memang betul ada rupa ada harga.

Pernahkah kita memikirkan nasib mereka? Mereka yang berjualan dipasar tradisional atau emperan toko beradu dengan keringat, terkena paparan sinar matahari belum kalau cuaca hujan harus cepat-cepat membereskan dagangan. Mereka harus berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam itupun kadang seharian dagangan mereka tak laku. Lalu ada yang menawar dengan harga murah dan dengan berlapang dada melepas dagangannya walaupun untung menipis asal ada pemasukan sedikit-sedikit.


Mereka melakukan semua itu hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dengan rejeki yang halal. Kadang tak sedikit para penjual juga sudah renta. Jika kita butuh barang coba cari dulu dipasar ataupun PKL sapa tau ada yang cocok. Dan kalau harganya masuk akal ikhlaskan saja uang kita tanpa menawar. Dengan begitu kita membantu perekonomian mereka.