Selasa, 25 Oktober 2016

Yang Miskin Makin Miskin dan yang Kaya Makin Jaya

“Aku sudah ada di depan perumahan.”
“Oke aku akan cari kamu”

Panggilan dari telephone seluler berakhir. Kulihat saat itu waktu di HP menunjukkan pukul 18.40. Wuahhh total 1 jam 20 menit perjalananku dari kantor ke TKP. Lesu dan lunglai rasanya badan ini dihajar oleh kemacetan jalan. Rencana saya hanya diam dan mengamati mereka saja dulu daripada tidak fokus karena kelamaan dijalan.
Kami memarkir sepeda motor di sebelah tenda. Mas Wisnu, kawan yang mengajakku datang ketempat ini, berjalan di depanku dan masuk ke dalam tenda. Ya mau ga mau saya pun mengikutinya. Masuk, menyalami beberapa ibu-ibu di dalam tenda yang memakai baju seragam merah hitam. Ada belasan ibu-ibu duduk di dalam tenda yang luasnya sekitar 5 x 1.5 meteran. Tenda tersebut berdiri di depan pagar sebuah pabrik sepatu dan sisi lainnya adalah jalan raya. Saya duduk dan ibu di depan saya menyuguhkan air mineral gelas beserta gorengan.

“Sudah berapa lama bu di tenda ini?”
“Satu minggu mbak.” Jawab ibu di sebelah kiriku.

Ibu-ibu ini sejak seminggu yang lalu bergantian berada di tenda perjuangan. Mereka adalah buruh pabrik sepatu yang sedang memperjuangkan haknya agar memperoleh pesangon yang layak. Memang kebanyakan ibu-ibu, buruh pabrik yang laki-laki hanya sedikit. Kebayakan dari mereka pun janda diatas 40 tahunan. Bahkan ada dari mereka telah mengabdikan diri selama 35 tahun’nan. Pesangon yang diberikan sangatlah tak layak dilihat dari masa kerja mereka. Untuk yang 35 tahun masa kerja mendapat 16 juta lalu 25 tahun mendapat 15 juta sedangkan 20 tahun kebawah hanya 12 juta. Gaji yang mereka terima pun jauh dari rata-rata. Mulai yang baru masuk hingga yang sudah 35 tahun bekerja gajinya sama yaitu Rp 2,400,000 itupun belum dipotong BPJS.

“ Dapat gaji jauh dibawah UMR saja kami wes nriman ga banyak protes lho mbak. Tapi koq ya di PHK pun dapat pesangonnya sak welase.”

Tak sedikit dari warga datang memberikan air mineral, snack bahkan nasi bungkus untuk menyemangati mereka. Para buruh dari pabrik lain juga menunjukkan solidaritas dengan datang ke tenda perjuangan ini. Di tenda tersebut juga ada kompor dan panci katanya untuk membuat kopi atau mie instan bagi para buruh yang kedapatan shift malam.
Pabrik sepatu ini akan relokasi ke Jombang. Para buruh diminta untuk ikut ke Jombang atau kena PHK dengan pesangon 12-16 juta. Kalau ke Jombang jelas mereka keberatan apalagi mereka sudah tua dan keluarga juga menetap disini. Belum pula kalau gaji mereka akan disamakan dengan UMK Jombang malah makin sedikit penghasilan mereka.
Inilah realita kehidupan yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin jaya. Pemilik modal setelah memeras tenaga para buruh, produksinya meningkat sehingga bisa membuka lahan baru. Mereka membuka lahan baru di daerah yang upah penduduknya murah. Sedangkan para buruh yang ikut babat alas tak dihargai jasanya dengan layak. Pernahkah mereka memikirkan nasib buruh setelah di PHK? Bagaimana nasib janda yang pengangguran? Dulu tanpa buruh yang setia apa bisa membuka lahan baru? Achhh itu semua ga penting. Yang penting produksi terus berjalan dan pemasaran harus digenjot supaya hasil makin melimpah.


Kamis, 16 Juni 2016

Pindah Tidur di puncak Panderman 2045 mdpl (3-4 Juni 2016)

5 jam motoran menerjang kemacetan dari Surabaya ke Batu akhirnya selesai juga. Di parkiran wisata Panderman, Desa Pesanggrahan kami berdelapan (6 lelaki 2 perempuan) menitipkan 6 motor kami. Pukul 12.15 dini hari setelah menyelesaikan perijinan  mendaki Gunung Panderman di Pos 1, kami mulai melangkahkan kaki. Cukup membayar Rp 7.000 per orang untuk restribusinya. Jalanan masih beraspal dan lama kelaman mulai pavingan. Setengah jam berjalan dari pos 1 kami menemui sumber air. Dan disitulah sumber air terakhir yang kami temui sampai menuju puncak. Jadi cek dan isi persediaan air ya. Perjalanan berlanjut sampai menemukan pertigaan. Jika ke kanan menuju pendakian Gunung Buthak sedangkan kami mengambil jalur kiri menuju Panderman. Di Panderman petunjuk jalannya jelas dan terawat jadi jangan khawatir kesasar hehehe. 

Pukul 01.50 kami tiba di Latar Ombo. Lahan luas dan datar yang cocok untuk mendirikan tenda. Tapi niat kami ingin mendirikan tenda di puncak jadi disini sekedar istirahat sebentar membuka bekal snack untuk menambah stamina. Mulai dari sini kerlap kerlip kota Batu Nampak indah mengiringi perjalanan kami.
Latar Ombo 1600mdpl

Perjalanan kami lanjutkan sampai tiba di Watu Gede pukul 02.50. Kami sempat terkecoh 2x karena menemukan bongkahan batu besar-besar yang kami kira Watu Gede. Dinamakan Watu Gede karena di lahan luas ini terdapat batu-batu besar dan anginnya benar-benar kencang. Nah setelah dari Watu Gede inilah tantangan baru akan dimulai. Tanjakan demi tanjakan menguras tenaga akan sering dijumpai. Awalnya saya anggap Panderman adalah gunung yang pendek puncaknya dengan pendakian santai. Tapi ternyata selama 1,5 jam kami bermain-main dengan tanjakan-tanjakan tersebut.

Watu Gede 1730mdpl


Pukul 04.30 kami tiba di puncak. Mentari pun mulai menyapa kami. Kami lantas mendirikan tenda, ada yang langsung menyantap bekal nasi bungkus, dan ada pula yang menyalakan portable kompor untuk segera membuat minuman hangat. Kondisi kami sudah banyak yang drop. Ketika tenda berhasil didirikan bersegeralah kami masuk tenda untuk menghangatkan diri. Lelah dan dingin yang tak bisa kami bendung sehingga melewatkan momen sunrise. 
“Ga sunrise2an penting pindah turu nang puncak”
begitu celoteh teman-teman karena saking capeknya menempuh perjalanan panjang mulai macet 5 jam bermotoran dan langsung mendaki 4 jam 15 menit.
Full team




Sebelum masuk tenda, kami makan nasi bungkus  tapi beberapa dari kami menyisihkan nasi untuk sarapan ketika bangun tidur. Dengan santai aku mencantolkan bungkusan nasiku di dahan pohon depan tenda. Saat sudah di dalam tenda teman-teman pada ribut diluar. Ternyata monyet-monyet mendatangi area tenda kami dan luputlah nasi-nasi yang ada diluar tenda. Jadi jika sudah sampai di puncak segera amankan segala bentuk benda yang bisa diambil oleh si monyet :D. Diatas puncak pasti akan menemukan banyak monyet. Bisa dibilang puncak bedhes :D

Mengendap2


Pukul 08.30 aku mulai memberanikan diri keluar tenda menembus dinginnya udara. Wow pemandangan sekitar puncak emang aduhai. Sayang sekali saat mentari muncul tak bisa menikmatinya. Lalu aku menghampiri teman yang ada di tenda satunya. Mereka sedang memindahkan tenda dikarenakan puncak Basundara akan digunakan oleh 270an pasukan doreng-doreng untuk ceremony.



Setelah puas menikmati karyaNya dan mengabadikan foto si monyet serta tak ketinggalan beberapa kali narsis, kami mulai berkemas. Tepat pukul 12.30 pm kami mulai menuruni Gunung Panderman dengan puncaknya Basundara 2045 mdpl. Perjalanan ternyata lebih susah saat turun. Turunan curam dan beberapa kali harus merangkak dan ngesot. Dengkul serasa bergetar. Dan jempol dan jari kaki yang lain sudah tak bisa diajak kompromi rasanya. Sepatuku baru dan terasa atos dipakai alhasil jalan seperti nenek tua dengan tongkat, jalan pelan-pelan sambil meringis menahan sakitnya kaki. Hujan pun menambah deritaku untuk menuruni gunung yang tinggal 15 menitan tiba di warung dekat sumber air. Jalanan makin licin. Langkah kaki makin pendek.  Buset dah komat kamit mohon kekuatan kaki. Pukul 16.00 tepat kami tiba di warung. Langsung copot sepatu dan menyeruput teh hangat. Wah sedaappp…

Setelah istirahat sejenak melepas penat saatnya melanjutkan touring menuju Surabaya. Kami harus menantang ngantuk supaya enyah karena perjalanan kami masih jauh. Beberapa kali aku dibonceng dan tertidur begitu pula Agus yang bonceng aku juga berhenti untuk mengebulkan asap rokoknya guna mengusir ngantuk.


Pilgrimage dari Surabaya menuju gunung Panderman dan kembali lagi ke Surabaya telah usai. Saatnya kembali ke rutinitas sehari-hari dengan harapan tubuh makin sehat dan  jiwa makin semangat.

NB: Foto diambil saat perjalanan turun. 

Kamis, 02 Juni 2016

Mau ditawar lagi???

Ketika menanti jemputan yang tak kunjung datang, mata tiba-tiba terfokus kearah becak dengan beraneka topi yang berhenti disamping RSAL atau didepan Royal Plaza. Secara keseluruhan tidak ada yang istimewa sebenarnya tapi tulisan “TOPI 5.000” membuatku penasaran. Dari jauh aku amati dan sesekali aku potret.

Sepasang perempuan dan laki-laki paruh baya memarkir motornya dan mulai memilih topi yang mereka inginkan.Dalam hati berfikir yakin kah bapak itu menjual topinya seharga Rp 5.000? ach mungkin hanya tulisannya saja 5.000 tapi kenyataannya pasti lebih dari itu.

Lalu aku mencoba mendekati bapak penjual topi dan aku mulai ikutan melihat-lihat topi tersebut.
“ Pak yang ini berapa” sambil menunjukkan topi rimba warna maroon.
“Lima ribu mbak. Silahkan dilihat-lihat dulu. Banyak warnanya.”
“ semua lima ribu pak?”
“iya semua 5.000 kecuali yang ada didalam kotak.” Sambil menunjuk kotak yang isinya kopiah.



Bapak penjual topi ini aslinya Jember, ke Surabaya merantau dengan berjualan topi keliling kampung. Barang dagangannya Ia kulak dari Mojokerto. Katanya bisa murah karena itu terbuat dari kain perca. Sekilas memang rapi jahitannya tapi jika dibalik topinya memang terdiri dari macam-macam warna dan kain yang berbeda.




Beberapa hari setelah perjumpaanku dengan bapak itu aku mencoba tanya ke remaja Sanggar Merah Merdeka apakah mereka mengenali bapak penjual topi tsb. Ternyata beberapa dari mereka sering melihat bapak itu menjajakan dagangannya disekitar kampung Tales. Bahkan beliau juga sering bantu Adzan dan membersihkan masjid.

Bapak ini tak hanya menjual topi tapi juga slayer, kopiah, tasbih, cermin yang rata-rata dijual Rp 5.000. dengan harga segitu mau ditawar berapa lagi?Rp 2.500?atau lima ribu dapat 3? Buat sebagian orang termasuk saya, menawar adalah hal wajib jika berbelanja di pasar tradisional atau PKL. Menawar menghindarkan kita dari kemahalan dalam berbelanja dan bisa hemat dalam pengeluaran. Apalagi kalau di pasar wisata kadang pedagang ugal-ugalan memberi harga dagangan mereka.

Namun kembali lagi jika di dalam mall pernah kah kita menawar harga barang?pasti jawabnya ga pernah, iya kan? Kita sadar harga di mall itu pasti lebih mahal tapi dengan santai kita memilih dan langsung membaya ke kasir. Pertimbangan kita barang di mall lebih berkualitas.  Yup memang betul ada rupa ada harga.

Pernahkah kita memikirkan nasib mereka? Mereka yang berjualan dipasar tradisional atau emperan toko beradu dengan keringat, terkena paparan sinar matahari belum kalau cuaca hujan harus cepat-cepat membereskan dagangan. Mereka harus berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam itupun kadang seharian dagangan mereka tak laku. Lalu ada yang menawar dengan harga murah dan dengan berlapang dada melepas dagangannya walaupun untung menipis asal ada pemasukan sedikit-sedikit.


Mereka melakukan semua itu hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dengan rejeki yang halal. Kadang tak sedikit para penjual juga sudah renta. Jika kita butuh barang coba cari dulu dipasar ataupun PKL sapa tau ada yang cocok. Dan kalau harganya masuk akal ikhlaskan saja uang kita tanpa menawar. Dengan begitu kita membantu perekonomian mereka.

Selasa, 17 Mei 2016

Kuning-Kuning Bukan Pasukan Kuning (Opsih Gunung Cikuray 2.821mdpl) 5-8 Mei 2016

Kuning-kuning bukan pasukan kuning. Kami datang hanya untuk membersihkan gunung semampu kami dan mencoba menularkan virus untuk para pendaki lain disana supaya mau membawa sampahnya turun kembali. Memang tak mudah, ketika kami ingatkan mereka yg buang sembarangan, kami malah di sewoti. Setidaknya kami berusaha memberi contoh bukan sekedar teori untuk mengaplikasikan seruan pertobatan ekologis dalam "Laudato Si" memelihara bumi sebagai rumah kita bersama seperti yang telah Romo Sabas Kusnugroho ungkapkan di Homili sehari sebelum kami berangkat. Dalam Opsih 3 gunung yang diadakan oleh Mutripala (Mudika Trinitas Pecinta Alam)di Garut ini peserta datang dari beberapa kota seperti Jakarta,Bandung,Surabaya & Yogyakarta. Kami dibagi 3 tim yaitu tim Cikuray (2.821mdpl), Papandayan (2.665 mdpl) & Guntur (2.249 mdpl). Kebetulan kami masuk tim Cikuray.
Titik awal pendakian

Pedih di mata dan sesekali terasa asin ketika peluh mengucur melewati mata dan mulut. Waktu menunjukkan pukul 10.30, sudah 2 jam 45 menit kami berjalan dari stasiun pemancar menuju pos 2. Nafas terengah-engah. Tanjakan terus berkesinambungan tanpa ada ampun. Ketika jalan mulai terseok-seok, kaki kupaksa untuk berhenti sejenak. Seteguk air kuminum sekedar membasahi kerongkong karena takut bekal air kami menipis hehehe. Maklum di Cikuray tidak ada mata air jadi kami harus membawa air sendiri untuk kebutuhan ngecamp.Tiap langkah kunikmati sambil menyapa pepohonan, batu, rerumputan karena mereka semua akan jadi teman kami hingga keesokan hari.
Sepanjang jalan akan sering menemui jalan yang seperti ini



Macam Tanjakan


Pukul 12.15 kami tiba di Pos 3 jadi total perjalanan dari stasiun pemancar ke Pos 3 sekitar 4,5 jam. Akhirnya sampai juga di Pos tempat dimana kami akan mendirikan tenda. Tenda belum selesai didirikan tiba-tiba hujan turun. Mau ga mau kami berhujan-hujan ria sambil mendirikan tenda dan menyiapkan hidangan ala kadarnya untuk mengisi perut. Setelah 1 tenda berhasil didirikan kami masuk secara bergerombol untuk mengahangatkan badan.
Menanti hujan reda

Seusai bumi diguyur hujan kami mulai berhamburan keluar tenda untuk menyiapkan hidangan malam. Tiba-tiba ada rombongan dari atas meminta kami untuk memberi tumpangan pada 2 orang perempuan karena sakit dan ditinggal rombongan. Mereka datang berenam ke Cikuray, 3 perempuan dan 3 laki-laki. Entah kenapa akhirnya para lelaki tsb jalan duluan tanpa memperhatikan 3 orang perempuan ini. 1 orang keseleo tapi dia nekat turun kebawah untuk mengejar 3 lelaki rekannya dan 2 orang lagi tinggal di tenda kami. Duh jengkel rasanya sama 3 orang lelaki yang ninggalin temannya ini. Koq tega gitu ya.

Pukul 01.00 dini hari di luar tenda sudah ramai, mereka sengaja membangunkan yang lain untuk persiapan ke puncak. Awalnya aku ragu untuk ikut ke puncak karena takut jadi penghambat teman yang lain sedangkan Vero & Mb Silvana yang selalu menemaniku diperjalanan sampai pos 3 juga tak ikut. Tapi rekan kami yang dari Jogja meyakinkanku bahwa aku sanggup dan tidak akan tertinggal. Semangatku pun kembali dan dengan mantap hati akhirnya pukul 02.15 kami mulai jalan menuju puncak. Dingin menusuk tulang, tanjakan demi tanjakan kembali kutemui. Cikuray saat itu ramai sekali, banyak yang buka tenda dimana saja pokoknya ada tempat datar pasti disitu ada tenda berdiri. Selain tenda yanga da dimana-mana, sampah pun juga bertebaran dimana-mana.
Tim yang sampai puncak



Pukul 05.15 kami akhirnya tiba di bawah satu trap puncak gunung Cikuray. Total 3 jam perjalanan kami tempuh dari Pos 3 sampai puncak dengan melewati pos 4,5,6,7 & 8. Puncak Cikuray super padat seperti pasar minggu. Jalan pun harus gantian saat berpapasan. Kami bertiga, aku, Mb Sari & Mas Bram memilih untuk menepi dibawahnya puncak sambil menunggu mentari menampakkan diri. Tak lupa kami mengabadikan setiap momen yang kami lihat alias selfie :D. Setelah mentari muncul baru kami naik ke atas puncak. Aku kurang bisa menikmati keindahan di atas puncak karena sangat ramai. Di atas puncak Cikuray ada bangunan kotak yang dibangun entah apa tujuannya. Atau mungkin disediakan bagi pendaki untuk berteduh jika hujan turun ya. Entahlah tapi dengan adanya bangunan itu membuat mata tak luas memandang. 
Corat coret semaunya :(

Pasar Minggu di Puncak Cikuray


Setelah puas menikmati matahari terbit kami turun agak kebawah dan mulai melakukan opsih. Opsih dibagi 3 tim yakni opsih sekitar puncak sampai dengan pos 7, opsih jalur jadi mereka akan memungut sampah disekitar jalur menuju ke pos 3 dan opsih base camp. Aku memlilih opsih puncak. Ditengah jalan trashbagku sobek dan sampah bercecaran. Untunglah Ryan mau berbagi trashbag untuk menampung sampah hasil jerih payahku:D.

Sesampainya di pos 3 kami melepas penat dan mengisi amunisi untuk bekal turun ke kaki gunung. Setelah tenda dan peralatan sudah kami packing ke dalam carrier, hujan kembali mengguyur. Hatiku sudah dag dig dug karena membayangkan situasi jalan yang licin. Dalam hati aku tak henti-hentinya berdoa supaya aku bisa melalui jalanan ini dengan lancar tanpa menghambat teman-teman yang lain. Pukul 14.15 kami mulai menuruni gunung. Jalan turun curam disertai licin tak jarang beberapa dari kami jatuh terpleset. Tapi untung tidak ada yang sampai luka parah. 
Hasil jerih payah :D

Akhirnya kami lolos dari hutan, lega rasanya jalan yang curam telah kami lewati. Sampah-sampah yang kami bawa pun dapat kami parkir ditempat pembuangan. Kelega'an tak berjalan selamanya karena setelah melewati lereng gunung yang indah dan sempat mengabadikan beberapa momen kami dihadapkan oleh jalanan yang super duper licin daripada turunan curam. Yach kami harus melampaui kebun teh walaupun datar tapi tanahnya licin sekali. Kaki harus benar-benar bisa menahan agar tubuh tak jatuh. Langkah demi langkah kami lalui dan ini benar-benar cobaan terakhir karena setelah kebun teh kami dipertemukan jalanan aspal. Itu tandanya berakhirlah perjalanan kami menuruni gunung Cikuray pada pukul 17.15. Waktu yang kami butuhkan saat menuruni dari pos 3 menuju ke awal pendakian sekitar 3 jam.

Kami tidak hanya sekedar memungut sampah seperti pasukan kuning biasanya tapi kami juga memberi pesan terhadap pendaki lain agar membawa sampahnya turun. Tak jarang kami menegur pendaki lain yang turun tanpa terlihat trashbag/sampah yang dibawa turun dan mereka cuma cengar cengir. Kesadaran akan kepeduliaan lingkungan harus kita tanamkan dilubuk hati kita masing-masing agar gunung yang mempesona keindahahnnya tak menjadi gunung yang menyimpan ribuan sampah. Gunung bukan tempat sampah. Yuk bawa lagi sampahmu saat turun gunung!!!


Surabaya, 17 Mei 2016







Jumat, 12 Februari 2016

The Sound of Silence (Pertapaan St.Maria Rawaseneng, Temanggung 6-8 Februari 2016)

             Diluar hujan deras, didalam taksi aku kedinginan kena paparan AC. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.25 sedangkan aku belum tiba di Jl Arjuna dimana Bus Safari Dharma Raya (OBL) berhenti menjemput penumpang. 20.30 harusnya sudah kumpul semua dan pukul 21.00 bus tersebut langsung meluncur ke Jawa Tengah.

       Solo trip. Pengalaman pertamaku berpergian sendirian. Sudah lama aku mendambakan pergi ke Pertapaan St.Maria Rawaseneng, Temanggung. Sudah berkali-kali juga mengajak teman tapi susah ga pas jadwalnya. Akhirnya nekat pergi sendiri. Waktunya juga pas untuk menyepi, refleksi diri  menyongsong HUT dan memasuki pra paskah :D.

            2 minggu sebelumnya aku sudah booking tempat di Rawaseneng. Dan meminta arahan dari Sby naik apa. Oleh Pak Yosef (yang mengurusi kamar tamu) disuruh naik bus Safari Dharma Raya (OBL) turun garasi dan minta diantar ke Rawaseneng.

             Berhubung Surabaya diguyur hujan deras dan beberapa tempat banjir maka banyak penumpang yang telat kumpul. Sehingga bus baru berangkat pukul 21.46. Bus OBL ini eksekutif jadi kaki bisa diselonjorkan, ada toiletnya walaupun cuma untuk buang air kecil plus ada selimutnya pula. Bus jurusan Surabaya-Temanggung ya setau saya Cuma OBL. Bisa juga kalau mau oper naik bus jurusan Surabaya-Jogjakarta setelah sampai terminal Jogja cari bus arah Magelang, dari terminal Magelang naik bus arah Temanggung.
Bus Safari Dharma Raya


      Jam setengah dua’an tiba dirumah makan daerah Rembang. Setelah itu lanjut dan tiba di Temanggung jam 7an pagi. Sewaktu di bus saya ngobrol dengan ibu sebelah saya. Dia bilang kalau turun garasi ga ada ojek maupun angkutan maka ikuti ibu itu saja naik angkot. Achh senangnya ada orang local jadi ga mungkin saya kesasar. 

           Kami turun di daerah Kowangan,Temanggung dan menunggu angkot warna kuning lewat. Lalu minta turun dipertigaan Maron. Dari situ lanjut naik angkot merah no 03 menuju Rawaseneng. Angkot Rawaseneng akan susah dijumpai jika anak sekolah libur jadi pintar-pintarlah memilih hari jika mau menggunakan angkot ini.  Angkot merah no 03 ini akan berhenti di Dam. Selanjutnya untuk naik ke Pertapaan Rawaseneng harus naik ojek. Angkot tadi sebenarnya juga menawarkan jasanya antar sampai pertapaan dengan biaya 30ribu tapi aku lebih memilih ojek supaya bisa janjian jemput ketika pulang nanti. Selain itu juga lebih murah naik ojek yang Cuma 15ribu. Kecuali aku datang dengan rombongan jelas lebih murah angkot.

       Udaranya segar. Semerbak bau cemara mulai menyelinap memasuki paru-paruku. Saatnya cuci paru-paru. Ojeknya menurunkan aku dipos satpam didepan Museum & toko souvenir Pertapaan. Semua tamu wajib lapor di pos satpam ini untuk menyampaikan tujuannya datang ke Pertapaan. Setelah mengisi buku tamu aku diminta untuk jalan kebawah, dipusat informasi kamar tamu. Dan aku bertemu dengan Pak Yosef yang susah sekali dihubungi walau hanya sekedar booking dan tanya apa bisa mendapat bimbingan rohani dari Romonya.
Museum & Toko Souvenir 


            Aku sebutkan namaku dan asalku dan ternyata namaku tidak ada dijadwalnya. Oh my God mau tidur dimana aku. Padahal jelas-jelas aku dapat balasan SMS dari Pak Yosef jika aku bisa menginap ditanggal 6 & 7 Feb 2016. Tapi untunglah masih ada kamar untukku. Karena katanya akan banyak rombongan yang akan menginap maklum liburan panjang banyak yang ingin mencari keheningan ataupun retreat.
          218 itu nomor kamarku dilantai 2. Kamarnya cukup untuk 2 orang. Ada spring bed atas dan bawah. Ada air hangat pula jadi jangan khawatir ga mandi pagi karena kedinginan.  Saat itu ibadat siang I (Tertia) sedang mulai beberapa menit. Sedangkan ibadat siang II (Sexta) dimulai pukul 12.00. karena masih ada waktu untuk mengikuti ibadat Sexta aku mandi dan merebahkan tubuh sampai ketiduran. Untung sebelumnya aku pasang alarm sehingga tidak ketinggalan Ibadat Sexta.




           Keluar kamar. Jalan sendirian itu terasa ga nyaman. Karena masih setengah jam sebelum ibadat mulai, aku melongok ruang makan oh ternyata sudah disiapkan snack dan ada 1 orang ibu sedang nyantai disitu. Aku pun mampir untuk menikmati snack.
Jadwal Ibadat


         Begitu memasuki kapel. Mataku berkeliaran kemana-mana. Pikirku melayang-layang mencari jawaban atas apa yang telah kulihat. Aneh bagiku melihat tempat duduk Para Rahib,bajunya mereka, kenapa disekat antara Rahib dan umat. Ibadat siang II Cuma sekitar 15 menit isinya membacakan Mazmur dengan nyanyian Gregorian dan ada doa & bacaan singkat. Setalah ibadat lanjut makan siang.
Suasana dalam Kapel


          Masih ada waktu sebelum ibadat siang II (Nona), maka aku jalan-jalan menuju taman doa. Sepi hening. Itu memang yang ditawarkan Pertapaan Rawaseneng, keheningan. Setelah memasuki taman doa disebelah kiri jalan aku menjumpai Patung Bunda Maria menggendong Yesus. Dikanan jalan utama taman doa ada jalan salib yang apik. Aku berjalan terus mengikuti jalan utama. Sampailah dihalaman yang luas. Ada tangga turunan yang dikanannya dipercantik dengan gemricik kolam. Disitulah aku menjumpai bapak yang menjaga kebun. Olehnya aku diberitahu kalau disitu ada air yang sudah diberkati dan banyak orang minum dan cuci muka disitu sakitnya sembuh dan doanya terkabul. Aku pun mencobanya. Segar dan sejuk ditenggorakan rasanya. Akhirnya seharian itu aku mengikuti jadwal ibadat yang sudah ada.
Air suci


Di hari pertama itu aku kenalan dengan 2 ibu dan 1 putranya sekitar usia 20an tahun yang datang dari Jakarta & Jogja sehari sebelum aku. Mereka mengusulkan supaya aku minta untuk diberi bimbingan rohani sebagai bekalku pulang nanti. Mereka datang karena ingin memperkenalkan keheningan ke putranya dan ingin semakin dekat padaNya. Atas saran ibu tadi aku bolak balik ke kantor kamar tamu dan alhasil ga ada yang bisa aku mintai tolong untuk minta bimbingan rohani. Padahal sewaktu booking aku pun juga sudah meminta tapi apa daya ta dibalas juga SMSku. FYI nomor yang kudapat dari internet itu di tlp ga diangkat di sms pun lama balasnya. Katanya itu nomor milik Frater maka dari itu jam untuk buka HP pun juga terbatas tapi ternyata nomor itu dipegang oleh Pak Yosef. Mungkin ia sibuk karena dengar-dengar ia juga kuliah di Jogja jadi riwa riwi. Oia di Rawaseneng ini Para Rahib tidak keluar dari biaranya kecuali ada umat yang membutuhkan untuk bimbingan rohani atau keperluan lain. Jadi jangan dibayangkan berada disitu bisa berbaur dengan para Rahibnya. 

Hari kedua aku mencoba ke kantor kantor kamar tamu  lagi dan bertemu dengan Pak Yatno. Pak Yatno lah yang dapat membantuku memanggil Romo. Tenang dech pikirku. Sejenak aku berdoa Rosario di dalam kapel yang belum ada pengunjungnya. Belum selesai aku berosarioan, Pak Yatno mengahampiriku memberi kabar bahwa Romo Maxi bersedia bertemu denganku pukul 08.30. Gugup. Karena aku ga tau mau ngomong apa nanti sama Romonya. Karena aku datang ke Rawaseneng tidak sedang dilanda masalah ataupun sedang galau.

Pukul 08.30 pun tiba. Aku menantinya. Diajaknya aku keruang semacam ruang tamu dengan  4 kursi dan ditengahnya meja. Masih muda. Ramah. Dan bisa memberi aku tamparan-tamparan dan PR untuk hidupku. Selain itu Romo Maxi juga bercerita sekelumit tentang Pertapaan Rawaseneng. Jika kuceritakan dalam blog ini pasti akan ribuan karakter dech. Beliau juga bilang sayang kenapa ga mulai hari pertama aku dibimbing sehingga ada prosesnya dan berakhir ke peneguhan. Sore pukul 17.00 Rm Maxi ada tugas misa diluar dan belum tahu sampai pukul berapa maka dari itu tak bisa menemuiku lagi. Oke tak apalah aku coba garap sendiri pikirku.
Rm. Maxi saat Misa Novena 


Setelah bimbingan aku mengikuti misa Novena bulanan. Kebetulan di taman doa ada novena yang diadakan tiap bulan selama sembilan bulan nah saat itu novena yang ketiga dan dipimpin oleh Romo dari Temanggung. Para Romo dari Pertapaan sebagai konselebran. Dan aku juga baru tau kalau Romo dari pertapaan itu cuma 4. Lalu lainnya siapa? yang lain Frater. Mereka memang mengabdikan diri menjadi Frater walaupun usia mereka ada yang sangat tua tapi mereka tetap frater bukan Romo.Umat yang mengikuti novena juga lumayan banyak bahkan dari luar kota pun juga ada. 

       Aku menyusuri jalan menuju kandang sapi. Disitu lebih tenang. Lebih sepi. Ada yang unik,sapi-sapi mereka beri nama santo santa agar keturunannya tetap bagus tidak tertukar ketika mengawinkannya. Kegiatan mereka selain berdoa 7x juga bekerja menghidupi kebutuhan mereka sendiri dengan berkerbun dan berternak. Awal mulanya penghasilan mereka dari berkebun kopi dan memerah sapi. Lalu terjadi krisis moneter dan mengalami kerugian sehingga mereka mencoba-coba membuat kue dari keju sebagai tambahan. Sedikit demi sedikit mereka belajar dan  banyak yang suka dengan kue keju tsb akhirnya sekarang nambah usaha membuat susu pasteurisasi. 

       Dari kandang sapi,aku berjalan terus sampai ujung ada sebuah pemakaman. Oh ini yang diceritakan Rm.Maxi ada 17 Rahib yang sudah tiada. Yup cuma 17 sejak Pertapaan ini berdiri, butuh kerahiman ilahi dan perjuangan keras hingga bisa menjaga kesetiaan mereka sampai kembali kepada Bapa. 

Setelah ibadat sore sekitar pukul 18.30 aku keluar dari kapel dan ada orang memanggilku disamping kapel.
“ Mbak Sari nanti saya bisa melanjutkan bimbingannya. Jam 19.00 ya.” kata Rm Maxi yang masih membawa tas ransel usai tugas Misa diluar memberi info padaku.
Oh ternyata Rm. Maxi bisa kembali lebih cepat dari dugaannya. Aku mulai mengingat-ingat PR yang sudah aku refleksikan disiang hari tadi. Dengan mantap aku siap untuk menemui Rm. Maxi. Beliau memberi bimbingan sekaligus peneguhan untuk bekalku kembali ke dunia nyata.

Malam sebelum tidur hatiku merasa sedih meninggalkan tempat itu. Aku sudah merasa nyaman disitu. Keheningan seolah melepaskan aku dari segala hiruk pikuk dunia. Keheningan dapat mengisi jiwa yang gersang dan raga yang mulai rapuh.

Salah kalau orang beranggapan aku menginap di Pertapaan karena ingin masuk biara. Disitu terbuka untuk umum yang merindukan keheningan agar dapat mendengarkan suara hati dan Ilahi. Banyak orang yang kesitu ga hanya orang tua tapi muda mudi juga. 

Perjalananku berkunjung ke Pertapaan seolah memberi semangat untuk dapat melanjutkan misiku didunia. Dapat mengenal siapa aku. Ada apa dengan diriku. Dan mengapa aku seperti ini. Peziarahan di dunia ini penuh liku dan pasti semua orang dapat menyelesaikan perjalanannya. Tak perlu merasa tidak sanggup karena semua sudah diperhitungkan masak-masak oleh si Empunya hidup. Selesaikan apa yang jadi tanggunganmu. Berhenti. Mutung  tak ada gunanya lanjutkan dan jangan menyerah.

Pertapaan St.Maria,Rawaseneng,Temanggung suatu saat aku kan kembali :)


Rincian biaya:

   1. Tiket bus Safari Dharma Raya (OBL) Rp 135.000 x 2 = Rp 270.000
   2. Angkot kuning dari Kowangan Rp 3.000
   3. Angkot merah no.3 dari pertigaan Maron menuju Rawaseneng Rp 5.000
   4. Ojek dari Dam ke Pertapaan Rp 15.000
   5. Penginapan di Rawaseneng per malam Rp 150.000
   6. Ojek dari Rawaseneng ke garasi OBL Rp 35.000

Rute dari Surabaya menuju Pertapaan St. Maria Rawaseneng, Temanggung:

Rute I:

Berangkat    ==> Bus OBL Garasi di jl Arjuna / terminal Bungurasih – Temanggung  di garasi OBL (minta antar ke Rawaseneng dengan kasi tip sukarela)
Pulang          ==> Ojek dari Rawaseneng ke garasi bus OBL di jalan Dewi Sartika (Ojeknya panggil dulu via phone)

Rute II:

Berangkat     ==> Bus OBL garasi di Jl. Arjuna / Terminal Bungurasih – Temanggung turun di Kowangan naik angkot kuning – Turun pertigaan Maron naik angkot Merah no.03 arah Rawaseneng – turun di Dam oper ojek.
Pulang      ==> Ojek dari Rawaseneng ke Terminal Maron – naik bus pintu 2 arah ke Magelang – turun terminal Magelang oper bus kearah Jogja – turun terminal Giwangan- dari Terminal Giwangan naik bus arah Surabaya (bisa Eka, Mira, Sugeng Rahayu dll)

Bus Safari Dharma Raya
Surabaya
Jl. Raya Arjuna No. 35 Telp. 5461667 , 5481922 Fax. 5349490
Loket Terminal Bungur Asih. Telp. 8532348, 8543325
Dari Arjuna berangkat pukul 21.00, dari Bungurasih dijemput pukul 19.00
     Temanggung     
           Jl. Diponegoro No. 25     (0293) 491195 è Tiket aja
           Jl. Dewi Sartika no.39 (0293) 492828 è Kumpul
Kumpul pukul 16.30 berangkat pukul 17.00
Beli tiket via Tlp bayar saat berangkat asal positif, batal harus info
     Yogyakarta         
           Jl. P. Mangkubumi No. 70 (0274) 581880                (0274) 522234   
Jl. Raya Janti No. 25 Kompleks Pasar Angkasa      (0274) 7416708                 
Terminal Jombor Yogyakarta       (0274) 868838   
Berangkat dari Mangkubumi jam 19.00, dari Janti 19.30


Info nomor Telephon:

1. Kamar tamu Rawaseneng (Pak Yosef) : 0813-2888-2028
     2. Toko Souvenir (Bu Nanik): 0812-8961-6962
    Bisa pesan kastengel, roti, kopi buatan Rahib Rawaseneng. Dikirim via paket dari bus           OBL.
3. Ojek sekitar Rawaseneng (Pak Yun) : 0821-3734-2156
4. Ojek sekitar Jogja : 0853-3046-1614

Sebelum pulang dibawah patung Bunda Maria, Taman Doa

Suster pasteurisasi


Makam 17 Rahib